Dampak Pandemi Covid-19
Bryan Pradinda – 1079/SPA/2015
Dilansir dari laman kawalcovid19.id, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih terus bertambah. Per 12 Mei 2020 tercatat ada 14.749 orang yang positif terjangkit virus Covid-19. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah seiring waktu. Prediksi dari Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa puncak pandemi adalah Bulan Mei 2020, dan baru akan reda pada akhir Juli 2020. Sedangkan prediksi dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) mengatakan bahwa puncak pandemi Covid-19 pada April 2020 dan akan berakhir pada Bulan Oktober 2020.
Hingga saat ini , belum ada kepastian kapan vaksin Covid-19 ditemukan dan diproduksi secara masal. Menurut para peneliti, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti dan memproduksi vaksin hingga bisa digunakan masyarakat. Kemungkinan buruknya adalah penelitian pengembangan vaksin akan memakan waktu yang sangat lama, atau bahkan tidak ada vaksin sama sekali. Diperkirakan pandemi Covid-19 ini akan menyebabkan penurunan imunitas 60% – 70% populasi manusia di dunia.
Hikmah di Balik Pandemi
Namun di balik fakta dan prediksi tersebut, ada hikmah di balik pandemi Covid-19. Kebijakan pemerintah di dunia termasuk di Indonesia yang menghimbau masyarakat untuk work from home dan physical distancing turut mengambil andil yang besar terhadap penurunan polusi akhir – akhir ini. BMKG mencatat bahwa terjadi peningkatan kualitas udara pada Bulan Maret 2020 jika dibandingkan dengan Bulan Maret Tahun 2019. Di Jakarta misalnya, selama ini kendaraan bermotor mengambil peran terbesar terhadap polusi udara. Berdasarkan studi, knalpot mobil atau motor saat aktivitas normal mencapai 19.350 ton polutan/hari, dan ini sekitar 47 persen dari total emisi di Jakarta. Pada saat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan oleh Pemda DKI, polusi udara turun drastis. Kualitas udara di Jakarta yang sebelumnya berkadar tidak sehat, kini menjadi normal.
Selain itu, dampak signifikan juga terjadi pada objek wisata alam. Tidak dipungkiri, sampah yang dihasilkan oleh objek wisata alam sangat besar. Misalnya saja wisata pendakian gunung. Sampah yang dihasilkan para pendaki tergolong sampah yang sulit terurai. Sering kali kita jumpai sampah plastik, puntung rokok, atau sampah lainnya di sepanjang jalur pendakian. Pelarangan pendakian Gunung sebagai konsekuensi atas pencegahan Covid-19 turut mengurangi potensi sampah yang ditinggalkan para pendaki. Hal ini juga dimanfaatkan oleh para pengelola wisata untuk melakukan pembersihan dan naturalisasi jalur pendakian.
Aktivitas manusia yang menurun belakangan juga menguntungkan satwa – satwa. Wisata alam yang selama ini telah banyak mengambil ruang tinggal satwa kini bisa menjadi rumah kembali untuk satwa. Kualitas udara dan air yang lebih baik juga membuat satwa dapat bebas berkeliaran karena berkurangnya intervensi manusia di habitatnya. Misalnya saja burung – burung di perkotaan yang kini banyak terlihat karena kualitas ruang udara yang lebih baik dari sebelum pandemi. Penutupan taman wisata dan kebun binatang juga memberikan kesempatan satwa untuk istirahat agar terhindar dari stress dan terhindar dari virus covid-19 itu sendiri.
Tak dipungkiri, kini bumi tengah merayakan istirahatnya setelah bertahun – tahun digempur pencemaran dan perusakan lingkungan. Dilansir dari The Times, untuk pertama kalinya emisi rumah kaca dan konsumsi bahan bakar fosil menurun drastis hingga menjadi sama kondisinya dengan 30 tahun yang lalu. Aktivitas transportasi yang menurun juga berakibat pada melimpahnya cadangan minyak dunia. Banyak perusahaan tambang yang pada akhirnya menghentikan proses pengeboran. Proses penambangan memberikan tekanan pada kerak bumi dan merusak permukaan bumi. Ketidakhadiran manusia dalam proses alamiah bumi menyadarkan kita untuk merefleksi aktivitas kita sebagai manusia, yang ternyata selama ini telah banyak mengambil daripada melestarikan bumi.
Tidak Semuanya Positif
Namun demikian, di balik semua dampak positif Covid-19 terhadap lingkungan, ada juga dampak negatifnya. Seperti kata pepatah “What you gain here, you lose on the other side”. Ketika bumi tengah istirahat selama Covid-19, dampak dari pencemaran limbah sisa masih menjadi masalah. Contohnya, kebijakan work from home akhirnya mendorong para pelaku bisnis makanan dan minuman untuk mau tidak mau memaksimalkan keuntungan dari pembelian melalui aplikasi online, karena tidak diperbolehkan makan di tempat (dine in). Restoran akhirnya menggunakan kemasan plastik atau sterofoam yang praktis dan tidak higienis. Penggunaan plastik yang tidak ramah lingkungan akhirnya menyebabkan peningkatan sampah di tingkat rumah tangga.
Selain itu, plastik memang dinilai lebih ekonomis. Akibatnya banyak pelaku usaha yang lebih memilih plastik/ sterofoam daripada kemasan lainnya. Hal ini bisa diatasi dengan memberikan edukasi kepada para pelaku restoran untuk menggunakan kemasan yang ramah lingkungan, misalnya kantong kresek yang terbuat dari tepung singkong. Namun harga produk ramah lingkungan yang cenderung lebih mahal membuat hanya pelaku bisnis makanan besar yang mulai menggunakannya, sedangkan untuk bisnis UMKM mayoritas masih menggunakan plastik biasa.
Peningkatan limbah juga terjadi pada limbah medis. Banyak dari peralatan medis yang digunakan untuk menangani pasien covid-19 hanya bisa digunakan untuk satu kali pakai. Contohnya saja, rumah sakit – rumah sakit di Wuhan menghasilkan lebih dari 200 ton limbah per hari selama pandemi, jika dibandingkan dengan sebelum pandemi yang hanya 50 ton limbah per hari. Limbah medis adalah limbah yang tergolong limbah berbahaya. Oleh karena itu dibutuhkan prosedur dan penanganan khusus untuk memproses limbah medis agar tidak menjadi sumber infeksi virus.
Pandemi Covid-19 tidak hanya memaksa kegiatan manusia yang bersifat merusak untuk berhenti, namun juga kegiatan yang mendukung kelestarian lingkungan. Di Amerika, banyak kota – kota kecil yang akhirnya menghentikan program daur ulang sampah untuk mencegah penyebaran virus covid-19. National Institute of Allergy and Infectious Diseases, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika menemukan bahwa coronavirus dapat bertahan pada bahan yang biasanya didaur ulang hingga beberapa hari, meskipun itu bertahan lebih lama pada plastik dan stainless steel daripada tembaga dan kardus. Kota – kota juga khawatir akan kekurangan pekerja apabila para pekerjanya terjangkit virus covid-19. Meskipun aktivitas yang mendukung kelestarian lingkungan merupakan misi sosial yang baik, namun penularan virus corona bisa saja terjadi kepada siapa saja. Fokus kita saat ini adalah bagaimana sebisa mungkin untuk mengurangi penyebaran Covid-19.
Harapan Pasca Pandemi
Apa yang akan terjadi apabila pandemi berakhir? Yang paling dikhawatirkan ketika pandemi berakhir adalah bumi kembali digempur oleh perusakan dan aktivitas manusia menjadi tidak terkontrol lagi. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah kenaikan emisi CO2 yang diprediksi akan kembali naik lagi seperti sebelum pandemi. Bahkan bisa lebih tinggi dari sebelumnya dengan dalih untuk mengejar ketertinggalan ekonomi.
Para pakar khawatir bahwa paket-paket kebijakan ekonomi jangka panjang tidak dirancang dengan hati-hati sehingga akan menyebabkan ketergantungan pada bahan bakar fosil di seluruh ekonomi global. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Pandemi Covid-19 ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan komitmen bersama antara usaha pelestarian lingkungan dan dunia bisnis. Pemerintah bisa mengupayakan kebijakan yang mendorong sektor bisnis agar menerapkan model usaha yang rendah carbon. Sebagai masyarakat, kita dapat mendukung dan mempromosikan bahwa masa depan rendah carbon adalah pilihan yang tepat dan bijak.
Kesadaran untuk mengupayakan masa depan rendah carbon dapat dimulai dari diri kita sendiri. Menjalankan gaya hidup hijau (green living) di tingkat rumah tangga merupakan aplikasi nyata dan kontribusi kita untuk menjaga bumi. Saat ini gaya hidup hijau memang semakin digemari masyarakat. Contoh sederhana yang bisa dilakukan antara lain menghemat penggunaan listrik, meminimalisir sampah rumah tangga, membuat ruang terbuka hijau di rumah, menggunakan air secukupnya, dan mengurangi penggunaan plastik dan produk tidak ramah lingkungan yang lainnya.
Pandemi ini telah mengajarkan kita bahwa kesehatan umat manusia dan kesehatan bumi harus berjalan beriringan. Masa depan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan menuntut peran pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat. Peningkatan ekonomi juga harus diiringi dengan peningkatan ekologi. Ketika pandemi berakhir, harapannya adalah masyarakat yang lebih sadar dan mawas akan pentingnya kelestarian bumi yang berkelanjutan.
Source :
https://unctad.org/en/pages/newsdetails.aspx?OriginalVersionID=2333
https://www.voicesofyouth.org/blog/unexpected-environmental-consequences-covid-19
https://inhabitat.com/covid-19-and-its-effects-on-the-environment/
https://www.wastedive.com/news/recycling-mrfs-prison-labor-suspensions-coronavirus-covid-19/574301/
https://procura.id/blog/category/lifestyle/apa-itu-gaya-hidup-hijau/
https://www.thetimes.co.uk/article/the-times-view-on-covid-19-and-climate-change-planetary-fitness-8rqlv25z2