Senyum di Puncak Cikuray

Remet – 1260/SPA/2019

Berawal dari kepenatan menghadapi satu semester yang melelahkan, saya berpikir untuk melakukan pendakian sebagai bentuk penyegaran. Ajakan jalan di grup angkatan menjadi pembentuk siapa saja orang yang akan melakukan perjalanan. Akhirnya terbentuklah sebuah tim yang beranggotakan saya, Omol, Oyeng, Leha, Peget, Uple, Ujang, dan seorang kawan bernama Albert. Sesuai perjanjian, pendakian akan dilaksanakan selepas ujian.

Perencanaan yang dibuat adalah di hari pertama malam kita berangkat dari Bintaro menuju Lebak Bulus sekitar pukul setengah sembilan, untuk mengejar pemberangkatan terakhir bus menuju Terminal Garut yaitu pada pukul sepuluh. Di lanjutkan di hari kedua selepas subuh untuk kemudian menuju Basecamp Pemancar, lalu mulai melakakukan pendakian sekitar pukul 10 pagi. Namun seperti biasa, perjalanan yang asyik adalah perjalanan dengan suatu kejadian yang membuatnya menyimpang dari perencanaan.

Tiba di hari pemberangkatan yaitu tanggal 5 Februari 2020, yang semestinya kita jam delapan malam sudah berkumpul di posko, manusia-manusia ini baru berkumpul lengkap pukul setengah sepuluh. Selain itu, ditambah pula drama bahwa si Ujang tiba-tiba dilarang untuk turut melakukan perjalanan oleh ibunya. Dengan berat hati kami melakukan perjalanan tanpa Ujang. Masalah tidak selesai di situ, kami menyadari bahwa kami sudah ketinggalan pemberangkatan terakhir dari Lebak Bulus. Akhirnya kami mencoba mencari referensi terminal mana yang bisa membawa kami ke Daerah Garut, ada dua alternatif waktu itu, Terminal Kalideres atau Terminal Kampung Rambutan. Karena status kami sebagai mahasiswa, prioritas utama kami adalah biaya sebagai bentuk penghematan. Akhirnya, kami memutuskan menuju Terminal Kalideres. Kami berangkat kesana dengan 2 mobil dari salah satu aplikasi ojek online. Saat perjalanan menuju Kalideres salah satu mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan kecil, untung tidak menjadi masalah besar. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di Terminal Kalideres. Sialnya bus yang akan membawa kami ke Daerah Garut baru ada besok pagi jam sepuluh. Niat mau hemat malah makin melarat. Sempat putus asa, apakah akan membatalkan perjalanan ini atau tetap akan melanjutkan dengan kondisi kantong yang kekeringan. Setelah diskusi ringan, kami sepakat untuk tetap melanjutkan dengan menunggu bus besok pagi. Alhamdulillah, kebaikan datang menyambangi kami, tiba-tiba ada bapak (lupa namanya) menawarkan kepada kami untuk menuju Terminal Kampung Rambutan dengan biaya yang murah. Kami sontak kegirangan. Akhirnya kami menuju Kampung Rambutan. Kalau saja dari awal kami langsung ke kampung rambutan, kalau saja… . sudahlah lupakan, toh “kalau saja” tidak mampu mengembalikan waktu saat kita masih di Bintaro, mending kami fokus pada hal yang akan terjadi kedepannya.

6 Februari 2020, setelah melalui drama yang cukup panjang tibalah kami di Terminal Garut sekitar pukul 10 pagi. Banyak warga yang menawarkan kami untuk menggunakan jasanya untuk digunakan menuju Basecamp Pemancar. Kami menolak halus sebab lapar yang kami tahan-tahan semalaman akan diganti oleh kenyangnya sarapan, alias kami cari makanan dulu untuk mengisi kosongnya perut. Setelah sarapan, akhirnya kami sepakat untuk menunggu mobil bak yang ditawarkan warga untuk menuju Basecamp Pemancar. Sembari menunggu mobil jemputan, para perempuan membuat tiktok yang joget kanan-kiri sampai mobil jemputan kami datang. Formasi saat kami sudah menaiki mobil yang menjemput kami, saya didepan bersama supir yaitu Mang Ade, sisanya dibelakang. Saat perjalanan Mang Ade bilang bahwa kalau saya langsung menghubungi beliau maka bisa hemat sekitar seratus ribu, akhirnya saya meminta nomor beliau untuk disimpan bilamana saya melakukan perjalanan lagi ke Daerah Garut saya tahu akan menghubungi siapa ketika tiba di Terminal Garut. Saat perjalanan memasuki daerah tanjakkan, turun hujan yang membuat kami menepi terlebih dahulu untuk menutupi bagian belakang menggunakan fly sheet agar tidak kebasahan. Perjalanan dilanjutkan hingga kami tiba di Basecamp Pemancar sekitar pukul satu siang.

Selepas melakukan pengecekan ulang di Basecamp pemancar barulah kami melakukan pendakian sekitar pukul setengah tiga sore, seperti biasa dilakukan ritual doa dan pemanasan terlebih dahulu sebelum memulai pendakian. Pendakian berjalan normal 14.40 kami sampai di tanjakan cihuy yang ga ada cihuy-cihuynya, untung saja tanjakan ini di awal pendakian jadi tidak terlalu masalah karena kondisi kami yang belum kelelahan. Sekitar 15.45 kami sampai di pos 2. Lanjut ke pos 3 kita berjalan sekitar 45 menit, di pos 3 kami memutuskan istirahat makan untuk mengisi perut serta salat ashar. Baru sekitar pukul setengah 6 kita melanjutkan perjalanan menuju pos 4, dengan sebelumnya mengeluarkan headlamp sebagai sumber penerangan. Tiba di pos 4 pukul 18.00, kami memutuskan menjamak salat maghrib dan isya. Pos 4 ke pos 5 hanya memerlukan waktu setengah jam, istirahat bentar karena di sini Leha nafasnya tersengal-sengal akibat asma yang dia punya. Lanjut menuju pos 6 yang memakan waktu lima puluh menit. Saat mau menuju pos 7 kondisi Leha mulai bikin was-was akibatnya kami berjalan sesuai perkataan dia, kalau dia bilang lanjut kita berjalan, kalau dia bilang berhenti kita istirahat. Sekitar pukul 20.50 kami sampai di pos 7, niat hati mau buka tenda disitu karena melihat kondisi Leha yang sudah payah, namun karena di  7 kita tidak mungkin mendirikan tenda dan kalau mau balik ke pos 6 sangat jauh kami memutuskan untuk membagi 2 tim. Saya, Albert, dan Oyeng jalan terlebih dahulu untuk mengecek kondisi medan lalu menginfokannya ke Uple, Omol, Leha, dan Peget. Setelah jalan sekitar 5 menit dan melihat kondisi medan yang lumayan bersahabat Albert berteriak bahwa masih memungkinkan untuk berjalan sebentar lagi, akhirnya tim bawah menyanggupinya. Ternyata jarak pos 7 ke pos bayangan hanya memakan waktu 15 menit. Dan di sinilah dimulai, cerita yang tidak akan saya dan mungkin tim dalam pendakian ini lupakan.

Tiba di pos bayangan sekitar pukul 21.15, para lelaki membangun tenda dan perempuan membuat minuman hangat dan krim sup. Setelah beres semua, dipikiran saya hanya ingin melihat gemintang sambil minum secangkir coklat hangat serta jari telunjuk dan tengah mengapit filter bolong dari gulungan tembakau. Saya keluar tenda saat itu untuk mewujudkan pikiran saya, uple juga ikut keluar. Tiba-tiba ada bayangan hitam di tempat bekas kami membuat minuman hangat kemudian menimbulkan bunyi “sreek…sreek”, saya pikir itu oyeng mengambil sesuatu yang tertinggal di situ karena dia mengenakan baju hitam. Saya tegurlah dia, “yeng ngapain?”, kok diem saja dia. Akhirnya karena penasaran, saya hampirilah asal suara itu karena penasaran tidak ada sautan. Setelah saya hampiri ternyata suara itu berasal dari momok para pendaki Gunung Cikuray, ya bagas atau Babi Ganas. Saya panik dong di situ, langsung saya ngomong “ple babi ple”, sontak uple lebih terkejut karena babinya pas di belakang dia, akhirnya kami langsung masuk tenda dan menginfokan pada yang lain bahwa ada  babi di sekitar tenda kita. Akhirnya kita memberanikan diri untuk keluar mengusir babi yang ternyata babinya berjumlah 4 ekor, 2 ekor babi dewasa dan 2 ekor babi remaja. Saya kira setelah babi itu pergi, babi itu tidak bakal balik lagi. Setelah merapikan beberapa peralatan makan dan kembali masuk tenda, terdengar suara “ngook” berkali-kali yang membuat kami susah tidur. Kami coba berdamai dengan cara kami tidak menghiraukan kehadiran mereka, sialnya baru 5 menitan kami merem tiba-tiba si Omol bilang “cuk babinya nyeruduk kaki gue ni”, panik lah kami ditenda. Akhirnya kami (Albert) memberanikan diri untuk keluar dan mengusir kembali babi. Saya beruntung karena dalam pendakian ini Uple mengajak kawan yang pemberani. Dan bagi saya kepanikan bukan hanya karena babi, justru saya lebih panik karena pas buka tenda ada tikus hutan persis di depan tenda kami, iya saya paling takut sama tikus, lewati cerita tentang tikus. Setelah usir-mengusir, kami masuk kembali untuk  beristirahat tapi sayang babi itu kembali datang. Ada kejadian ini hingga tiga kali, sampai akhirnya kami berpikir bahwa kami tidak bisa terus-terusan ga tenang karena dihantui mantan, eh babi. Setelah diskusi singkat akhirnya kami sepakat untuk mengeluarkan makanan yang ada didalam tenda untuk kemudian kami taruh di atas pohon, setelah tenda lelaki sudah kelar barulah saya meminta yang perempuan untuk turut mengeluarkan makanan dari tenda. Saya sempat kesel karena mendengar jawaban dari para perempuan, “tenang met, babinya ga nyium” , dalam hati “lah memang kalian babinya”. Karena saya tidak suka memaksa, saya membiarkan hal itu dan melanjutkan untuk menaruh semua makanan ke atas pohon, setelah kelar kami melanjutkan rencana kami untuk beristirahat. Setelah sekitar 30 menit, tiba-tiba ada suara teriak dari tenda perempuan, sontak kami langsung keluar dan menanyakan kenapa. Ternyata ada babi yang nerobos tenda karena masih ada makanan dalam tas Oyeng yang ternyata dalam tas itu terdapat barang berharga seperti hp, dompet, dan parfum baru yang selalu dia pamerkan sepanjang perjalanan dan tas tersebut dibawa oleh babi entah kemana. Saya tertawa dong mendengar hal ini karena tadi mereka bilang babinya ga nyium, akhirnya saya meminta untuk mengeluarkan sisa makanan yang ada. Kemudian kami lanjut istirahat dan alhamdulillah babinya memang datang tapi ga sampai ke tenda hanya mencoba ke pohon yang di atasnya ada makanan. Barulah sekitar pukul 5 pagi babi itu sudah benar-benar tak kembali setelah terdengar suara anjing dan sekitar jam setengah 6 ada bunyi alarm dari HP Oyeng, lalu kami mencari semua barang yang dibawa babi itu dan menemukan semuanya dalam kondisi tidak layak kecuali uang di dompet yang masih utuh. Kami juga mengambil makanan di atas pohon yang kami taruh di situ dan ternyata batang pohonnya itu lecet bekas cakaran kaki babi.

Setelah semuanya selesai, kami melakukan persiapan untuk melanjutkan ke puncak cikuray dan ternyata tidak lebih dari 10 menit kami sudah sampai puncak cikuray, seperti pendakian yang biasa kami lakukan kami selalu sarapan dengan mie instan sembari menikmati pemandangan. Keindahan yang disuguhkan mengalahkan rasa ga karu-karuan akibat diserang babi semalaman, bagi saya puncak cikuray adalah puncak terindah dari gunung yang sudah saya daki selama ini juga sekaligus gunung termenyebalkan. Untuk Cikuray dengan babi yang membuat makanan tercerai berai, kamu akan selalu menjadi cerita menarik untuk diceritakan. Terima kasih untuk keindahan dan rasa yang menyebalkan yang kau berikan secara bersamaan.

Sisa pendakian untuk turun tidak ada hal yang perlu dicemaskan, kami turun normal. Membersihkan badan lalu balik ke terminal, jam delapan malam kami sudah menaiki bus ke Lebak Bulus, di bus kami hanya numpang tidur sepanjang perjalanan. Sesampainya di Lebak Bulus, masing-masing kami memesan ojek online untuk kembali ke kosan. Sekian….