CATATAN PERJALANAN

1. PENGENALAN
Setelah sebulan lebih selesai menjalani Diklat Lapangan (Diklap), akhirnya siswa Diklat STAPALA 2016 khususnya divisi GH dipertemukan lagi dengan Kemoceng a.k.a Cikoneng (begitu kami memanggil tempat bersejarah itu, hehe). Siswa dari divisi lain sering kali menyinggung-nyinggung rencana perjalanan mabim pertama kami ini (menuju Kemoceng) jika bertatap muka dengan kami. Banyak ungkapan “Mau napak tilas kalian? Hahaha” dan juga “Salam buat pacet disana yaa” yang kami terima. Mendengar perkataan-perkataan itu kami hanya tertawa (walaupun sebenarnya terbesit rasa takut -sejarah- di Kemoceng terulang kembali, duhh mas). Begitu pekatnya kenangan bulan Desember di Kemoceng, membuat kami (khususnya saya) senam jantung khawatir jika ternyata ‘kejutan manis’ telah senior siapkan di sana. Hahh, sudahlah, lupakan hehehe. Sesekali saya katakan pada diri saya ‘Fokus aja sama persiapan logistik+anggaran, bot. Nggak usah mikir macem-macem’. Meskipun kami sudah dipusingkan dengan hestegrinjanihanyamitos yang tak ada ujungnya, sebelum itu kami harus menyelesaikan rencana perjalanan mabim kami yang perdana, ‘Siswa Goes to Kemoceng’ sesegera mungkin.

Selama mabim (masa bimbingan) berlangsung, kami telah dibekali berbagai ilmu mengenai kegununghutanan. Memang, sebagian besar materi yang ada telah disampaikan oleh panitia semasa diklat kampus beberapa bulan lalu, antara lain, survival, navigasi darat, mapping, dan lain-lain. Adapun ilmu baru yang kami dapatkan adalah navigasi darat tertutup yakni dengan teknik man-to-man. Ilmu-ilmu tersebut diajarkan guna persiapan perjalanan mabim dan tentunya memperluas pengetahuan kami sebagai calon anggota divisi GH (Gunung Hutan) 2016. Selain persiapan materi, kami juga dibekali bagaimana mempersiapkan fisik dalam kondisi prima yaitu dengan melakukan latifis (latihan fisik). Latihan ini kami lakukan empat hari dalam seminggu yakni tiap hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Walaupun sangat sulit mengumpulkan kami berenam dalam keadaan lengkap setiap ada latihan hehe tapi asyikin aja sih.
Perbekalan logistik, urusan administrasi, dan transportasi telah kami siapkan sejak H-beberapa hari sehingga saat hari Sabtu kami tinggal melakukan packing alat dan barang-barang pribadi lain. Dalam perjalanan mabim perdana ini, kami berangkat menuju Kemoceng dengan beranggotakan lima orang. Salah satu saudara kami (Caus) sedang menjalani masa pemulihan paska mengalami DB (Demam Berdarah), gewees Causss. Dua laki-laki tiga perempuan membawa tiga carier dan tiga daypack. Pokokmen kudu kuat yo, cah! Wkwkwk. Kami berlima (Jurem, Agam, Enol, Lompoh, Boto) dengan berat hati meninggalkan Caus di Bintaro untuk menuju Cikoneng (Duhh us, pengalaman mahal harganya loh). Perjalanan kali ini dikawal oleh enam orang senior (Saha, Gelut, Kucai, Jebul, Malger, dan Rege) GH baik dari angkatan 2014 maupun 2015.

2. PERSIAPAN
Sebenarnya perjalanan kami ini direncanakan dimulai tanggal 29 Januari 2016, akan tetapi karena bertabrakan dengan urusan perkuliahan maka kegiatan ini diundur ke tanggal 30 Januari 2016. Satu hari sebelum keberangkatan kami, dua divisi lain (Caving dan RC/ Rock Climbing) telah bertolak menuju Gua Tajur dan Tebing Citatah. Kebetulan divisi ORAD (Olah Raga Arus Deras) berangkat berbarengan dengan divisi kami, yakni pada hari Sabtu, akan tetapi kami berangkat beberapa jam lebih awal. Kurang lebih pada pukul 13.00 WIB kami mulai packing barang-barang yang dibutuhkan. Baru pukul 17.00 WIB kami bisa menyelesaikan packing tersebut (ngaret as always), terbentur dengan jadwal kuliah beberapa orang dan barang-barang yang kurang lengkap. Kali ini saya mendapat ilmu baru dalam perposkoan, yakni kami harus mendirikan tenda yang akan kami bawa terlebih dahulu untuk memastikan tenda dalam keadaan yang layak pakai. Dengan dibantu Kak Rege, saya memeriksa satu persatu tenda yang akan kami bawa, antara lain, Consina Magnum, Merapi Mountain Half Moon, dan King Camp. Siswa yang lain masih mengurus tugas masing-masing, ada yang masih berbelanja (Enol), melengkapi barang-barang pribadi (Jurem, Agam), dan kuliah (Lompoh). Setelah semua urusan selesai (packing, kuliah, dan lain-lain) kami bergegas untuk mengangkut barang bawaan ke dalam angkot yang telah kami sewa. Diiringi doa bersama dari penduduk posko termasuk anggota divisi ORAD, kami berangkat menuju Cikoneng (Yeay, camping ceria -> katanya).

Dari kiri ke kanan (Agam dari Agam, Enol dari Bekasi, Lompoh dari Medan, Boto dari Magelang, dan Jurem dari Cijantung)

3. KEBERANGKATAN

Kurang lebih pukul 18.01 WIB kami meninggalkan Posko menggunakan angkot Mas Rendi.

Waktu dalam perjalanan sebagian besar kami habiskan untuk tidur, sesekali bercengkrama, makan biskuit, tidur, bercengkrama, makan biskuit (nganti seret). Salah satu hal yang terlupakan adalah air, kami hanya fokus pada barang belanjaan dalam bentuk makanan dan melupakan air. Akibatnya banyak dari kami yang kelaparan (ingin sekali ngemil) tapi takut seret. Air mineral telah kami pack dalam carier tertumpuk jauh di dasar (wkwk) dan kami cukup malas untuk bongkar muatan. Udara dalam angkot mulai memanas, ditambah lagi dengan kemacetan parah yang membuat kami semakin gerah. Kebetulan sepanjang perjalanan menuju Cikoneng, ada beberapa penjual minuman dingin keliling yang menjajakan dagangannya kesana-kemari. Saya dan Lompoh memutuskan untuk mengumpulkan receh demi receh yang ada di kantong kami untuk membeli sebotol air mineral dingin (hahh legaa bos). Awan gelap mulai menyelimuti langit, pertanda akan turunnya hujan, senang sekali rasanya. Sesekali gerimis hujan menghiasi kaca jendela. Kemudian menghilang, datang lagi, menghilang, dan untuk kesekiankalinya gerimis itu benar-benar hilang (duhh PHP kali kak).

4. TIBA DI DESA CIKONENG
Pada pukul 22.50 WIB rombongan kami tiba di pos perizinan Desa Cikoneng. Sebelum melanjutkan trekking menuju SD Cikoneng, beberapa dari kami melakukan ibadah shalat, sebagian lain mengurus perizinan, dan sisanya (Saya dan Lompoh) pergi ke warung sekitar desa untuk melengkapi kekurangan barang (baterai GPS).

Rombongan yang sedang menjalankan ibadah shalat

Setelah semuanya siap, kami putuskan untuk melanjutkan trekking menuju SD Cikoneng. Awalnya beberapa dari kami (termasuk saya) berniat mengenakan sandal untuk menuju SD, akan tetapi melihat Pak Kadiv berganti sepatu, saya dan Lompoh memutuskan untuk berganti sepatu juga (parno kak, takut ada –kejutan- wkwk). Perjalanan menuju SD dipimpin oleh siswa dan senior hanya memantau dari belakang. Agam memimpin di depan, disusul saya kemudian Lompoh, Enol, dan Jurem. Empat carier dibawa oleh Agam, Jurem, Lompoh, dan saya. Sedangkan Enol membawa dua daypack sekaligus (strong kali qaqa, wkwk) dan satu daypack lainnya dibawa oleh Kak Gelut (maacih kakak).
Kurang lebih barulah pukul 01.41 WIB kami tiba di lapangan SD. Sesampainya disana, kami bergegas untuk mendirikan tenda dan memasak makan malam. Adapun pembagian tugas yang ada adalah siswa laki-laki (Jurem dan Agam) mendirikan tenda dengan arahan Pak Kadiv (panggilan kami pada Kak Saha). Sedangkan siswa perempuan (Enol, Lompoh, Boto) memasak air panas dan makan malam. Menu untuk makan malam perdana ini adalah sup hangat dengan ditemani kopi panas yang nikmat. Selesai makan malam, kami segera beristirahat untuk persiapan kegiatan esok hari. Ketika semua siswa tidur terlelap (kecuali saya), para senior masih saja asik dengan wajik-kriting mereka. Kurang lebih baru pukul empat pagi mereka mulai membubarkan diri (duhh kak, siswa yang satu ini jadi nggak bisa tidur tauu, wkwk).

Pada pukul 08.38 WIB kami menyantap sarapan.

Esok harinya, kurang lebih pukul 06.46 WIB kami bangun dan bergegas untuk menyiapkan sarapan pagi. Para senior sudah tak terlihat lagi batang hidungnya, ahh pasti mereka sedang nongkrong di warung dekat SD (pikir saya). Hanya tersisa Kak Rege yang sepertinya juga sudah buru-buru ingin menyusul senior yang lain. Sesekali dia mengajukan pertanyaan “Masak apa?”, “Udah belom?”, dan sejenisnya. Setelah memastikan semua dari kami bangun dan mempersiapkan sarapan, ia langsung pamit “Tak tinggal yaa.”
Pada pukul 10.18 WIB para senior khususnya Pak Kadiv (Saha 1070/SPA/2015) memberikan arahan mengenai tugas-tugas yang harus diselesaikan kepada kami. Tugas tersebut diantaranya adalah menggambar jalur pendakian dari Lapangan SD Cikoneng sebagai start point menuju Lembah Angin. Dalam tugas pertama kali ini kami sangat terbantu dengan adanya GPS dan aplikasi di smartphone kami yakni Backcountry. Tugas kedua yang diberikan kepada kami adalah memberi tanda (marking) pada GPS dan Backcountry sebagai checkpoint mengenai tempat-tempat lapang, sumber air, dan percabangan yang kami temukan. Sebelum keberangkatan, kami diberikan koordinat Lembah Angin tempat kami dan para senior bertemu (meeting point) yakni 6˚39’36” LS 106˚59’5” BT. Selain itu kami juga dikomandokan untuk memberi nama tim kami dalam perjalanan kali ini, kami putuskan untuk menamai tim kami dengan “Tim Bravo”. Kami memilih nama Bravo karena ada -sedikit- permasalahan antara kami dengan kucing peliharaan yang ada di Posko, Bravo (hmmm brave, makasih roti gigitnya). Untuk tim senior yang berada di lapangan, diberi nama tim Cikoneng (Ya iluy, standard anet namanya, wkwk). Selesai pengarahan kurang lebih pukul 10.25 WIB, Pak Kadiv memimpin doa dengan khidmat. Diantara doa-doa yang dipanjatkan terselip harapan kegiatan yang akan dilakukan lancar dan kami bisa pulang ke Posko dengan sehat walafiat. Selesai berdoa, kami berangkat menuju Lembah Angin kurang lebih pada pukul 10.47 WIB dipandu oleh Kak Saha. Rute yang kami lewati adalah SD Cikoneng-Puncak Luhur-Lembah Angin.

Saat kami melewati SD Cikoneng, terlihat sekumpulan anak kecil sibuk memukul-mukul pinata besar yang tergantung di tengah lapangan. Sesekali kami tersenyum kecil melihat kelucuan tingkah mereka yang berusaha keras untuk memecahkan pinata tersebut.

Pak Kadiv kembali menuju start point.

Dua puluh menit kemudian, kami bertemu dengan persimpangan dan di tempat inilah Kak Saha meninggalkan kami dan kembali menuju start point. Sebelum itu, ia memberi arahan kepada Jurem untuk mengoordinasikan tim kami, memastikan setiap orang melakukan tugasnya dengan baik. Sesaat setelah Kak Saha meninggalkan kami, Jurem segera menjalankan komando. Pembagian tugas dalam tim kami antara lain Jurem yang memegang kendali sebagai ketua perjalanan, Lompoh sebagai time keeper, Enol sebagai pencatat koordinat, Agam sebagai dokumenter, dan saya (Boto) bertugas untuk melaporkan keadaan tim kepada tim Cikoneng dengan interval laporan 15 menit. Sepanjang perjalanan menuju pintu hutan, kami menemui banyak persimpangan yang cukup membingungkan. Dengan hanya mengandalkan memori Diklap (ohhnooo) kami harus menuju Lembah Angin sesegera mungkin. Baru beberapa menit kami berjalan, keragu-raguan sudah terasa. “Kita pernah lewat sini nggak sih?”, “Inget nggak?” begitulah obrolan-obrolan kami sepanjang jalan. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, melihat keadaan sekitar, dan menggali lebih dalam memori Diklap. Hal pertama yang saya laporkan adalah –Jurem digigit tawon- (wkwkwk). Segera kami ambil kotak P3K di daypack dan melakukan pertolongan pertama (semoga jangan digunakan lagi kotaknya, aamiin). Setelah beberapa saat berhenti, kami putuskan untuk bergegas menuju pintu hutan.

Bunga-bungaan teh yang bisa dikonsumsi sebagai cemilan.

Setelah trekking beberapa saat melewati kebun teh, kami tiba di kawasan pintu hutan. Nah, disinilah kami mulai kebingungan mencari pintu hutan yang tepat. Kebetulan Jurem, ketika Diklap pernah melewati pintu hutan dengan track yang benar (menurut konfirmasi Pak Kadiv), kami pun menyerahkan keputusan tentang pintu mana yang dilewati kepada Jurem. Akan tetapi, nyatanya Jurem lupa pintu yang mana (duhh ju, inget plis inget, wkwk).

Sedang bingung-bingungnya nih hahaha

Kami berusaha tenang, kemudian kami mencoba untuk melewati salah satu jalur yang menurut kami –agak- benar. Kurang lebih setelah sepuluh menit berjalan, kami menemukan tanda palang di jalur tersebut. Melihat hal tersebut kami putuskan untuk kembali ke titik kebingungan kami tadi. Jurem dan Agam mencoba mencari jalur lain, sedangkan sisanya menunggu di bawah. Setelah kurang lebih satu jam kebingungan, kami memutuskan untuk tetap melewati jalur yang berpalang tadi (bantai, sikat, lenyapkan). Dengan bermodalkan nekat, kami menyusuri jalur tersebut (rumput ilalang masih rimbun). Karena kecerobohan kami, tramontina yang seharusnya kami bawa dalam perjalanan rupanya masih tersimpan manis di ruang logistik Posko (lengkaplah sudahh, wkwk).

Jurem memimpin di depan, disusul saya, Lompoh, Enol, dan Agam sebagai sweeper. Ketika kami melewati jalur yang –sedikit- mencurigakan, kami dikomandokan untuk berhenti dan Jurem sebagai ketua perjalanan survei melewati jalur tersebut. Dengan berbekal GPS (untuk merekam jalur) yang dipegang Jurem, aplikasi Backcountry (fungsinya mirip GPS) di smartphone Lompoh, dan HT di saya (untuk meminta bantuan jika diperlukan) kami melanjutkan trekking. Sepanjang perjalanan kami sedikit khawatir jikalau di depan nanti kami tidak menemukan jalur alias buntu. Akan tetapi, kami harus tetap tenang dan berpikir jernih agar suasana tetap terkendali. Selain khawatir memikirkan jalur yang akan kami temui, terbesit pertanyaan “Mana pacet Cikoneng? Kok nggak nongol-nongol?”. Benar saja, beberapa saat kemudian satu persatu dari kami dicolek oleh pacet-pacet yang mungkin sudah menunggu kedatangan kami sejak Diklap kemarin (wkwkwk). Sepanjang perjalanan kami terus disibukkan dengan –pembersihan dan pembakaran- pacet (jadi molor kann). Pacet yang menyerang kami kali ini sangatlah berbeda dengan pacet Diklap kemarin, baik dari cara bergerak, warna, dan bentuk tubuh (hmmm, mungkin mereka bermutasi, wkwk). Kami menyebut pacet varian baru ini dengan nama “Pacet Kece” karena warnanya yang cantik dan gerakannya yang sangat aktif. Selain menemui pacet kece, kami juga menemukan beberapa tanaman yang terindikasi bisa dikonsumsi, yaitu begonia. Bagian yang bisa dimakan dari tumbuhan jenis ini adalah batangnya, akan tetapi alangkah lebih baik jika kulit batang yang ada dibuang terlebih dahulu.

Tumbuhan jenis ini memang sudah akrab di lidah Siswa Diklat semenjak Diklap lalu.

Sesekali kami memeriksa koordinat dalam GPS untuk melaporkan lokasi kami pada Tim Cikoneng. Jalur yang kami lewati memang –agak- mencurigakan, akan tetapi tak ada opsi lain untuk kami selain maju. Jurang ada di sisi kiri (read:bukan jurangmangu), tebing curam di kanan, dan jalan mencurigakan di depan. Tidak mungkin juga kami kembali ke titik kebingungan tadi (sebelum masuk hutan) karena akan memakan waktu yang lebih lama. Kami terus mengikuti arah mata angin yang tertera di GPS dan Backcountry untuk menuju Puncak Luhur.

Proses pengecekan koordinat.

Akhirnya kecurigaan kami pada jalur ini terbukti, di depan kami jalan setapak sudah habis, kami harus turun melewati jurang sedalam kurang lebih 6 meter jika berniat melanjutkan trekking melalui jalur ini. Kami berhenti sejenak untuk mencari solusi dari permasalahan ini dan akhirnya diputuskan untuk melanjutkan trekking. Jurem turun ke bawah untuk memastikan jalur aman untuk dilewati, dasar jurang tersebut digenangi air sehingga tidak akan sakit jika kami terjatuh (lebih sakitan mana sama jatuh bangun aku mengejarmu, wkwk) (Ini curhatan Boto btw maklum jomblo:P). Kami juga sedikit bingung dengan penyebutan kata –jurang- karena menurut saya tempat ini mungkin adalah bekas sungai musiman yang ada. Orang kedua yang turun adalah Lompoh, disusul saya, kemudian Enol dan Agam. Karena gerimis, tanah yang ada menjadi licin dan hanya ada akar pohon seadanya untuk kita jadikan sebagai penahan. Karena Jurem masih sibuk memandu Enol yang sedang menuju dasar, Agam masih di atas, dan Lompoh beristirahat saya putuskan untuk mencoba naik menuju atas. Sedikit sulit memang, sesekali saya terpeleset karena tanah yang licin. Ketika saya hampir mencapai atas, tiba-tiba kaki kanan saya tergelincir dan saya kembali terperosok ke dasar (duhh kak, kotor kali celana awak jadinya, wkwk). Anak-anak lain menertawakan bagaimana cara saya jatuh, khususnya Agam yang bisa melihat dengan jelas dari seberang atas. Saya pun mencoba naik lagi, disusul Lompoh yang juga ingin segera naik ke atas. Akhirnya kami semua tiba di atas, lega sekali rasanya bisa melewati jalur tadi.

5. TIBA DI PUNCAK LUHUR
Dengan pantauan tim Alfa (ada pengalihan pemantau), kami melanjutkan trekking menuju Puncak Luhur. Sepanjang perjalanan, saya masih percaya dengan ungkapan “kami bukan tersesat hanya saja kami salah ambil jalan, karena kami masih mengetahui koordinat kami, kami masih tau tujuan kami, dan kami masih tau bagaimana cara kami mencapai tujuan itu”. Mulai nampak jalur yang –mungkin- benar di depan kami, terlihat dengan terbuka lebarnya jalur tanpa ada ilalang dan semak lain yang menghalangi. Kami terus bergerak, berusaha menuju koordinat terdekat menuju Lembah Angin. Kurang lebih sekitar pukul 13.00 WIB kami berhenti sejenak untuk beristrirahat, makan siang, dan menjalankan ibadah shalat zuhur. Kemudian pukul 13.30 WIB kami memlanjutkan perjalanan menuju Lembah Angin.

Kami beristirahat sejenak di Puncak Luhur. (Abaikan muka kucel kami)

Akhirnya kurang lebih pukul 14.00 WIB kami tiba di Puncak Luhur, lega sekali rasanya. Kami beristirahat kurang lebih lima belas menit dan kemudian melanjutkan trekking karena hari mulai sore. Jalur yang kami lalui mulai jelas, ingatan ketika Diklap juga masih membekas (akhirnya kita kembali ke jalan yang lurus rekk, wkwk).

6. LEMBAH ANGIN
Tidak butuh waktu yang lama, kami segera tiba di Lembah Angin. Terlihat senior yang sepertinya sudah dari tadi menunggu kami (maapmaap lama).

Kami beristirahat sejenak di Lembah Angin.

Ketika kami tiba di lokasi, semua senior terdiam (ohhnooo apakah kejutan datang??). Saya –sedikit- khawatir kalau-kalau kekhawatiran saya khawatir terjadi (blahhblaahh). Dengan berbisik-bisik (saya dan Lompoh(terlihat jelas di foto wkwk)) membicarakan kegelisahan hati kami (duhh kak, jangan diulang lagi itu-itunya). Setelah Pak Kadiv angkat bicara, suasana sedikit mencair (thanks Bapak, wkwk). Kami memperbincangkan sedikit masalah jalur yang kami lewati, dan jalur yang senior lewati. Kami yang harus melewati jurangjurangan, sedangkan panitia masih sempat-sempatnya membawa buah jambu ke atas (keliatan banget mana senior-junior, wkwk). Senior juga membahas tentang track Gunung Kencana yang ternyata telah menerapkan sistem berbayar, yakni kurang lebih 20k perorang. Karena senior enggan membayar biaya masuk Kencana, mereka menggunakan jalur lain.

Hanya ada kabut yang menari-nari dan pohon-pohon yang dengan angkuh berdiri mengelilingi tempat ini.
“Hai. Kami kembali lagi! Kali ini dengan pasukan yang jauh lebih sedikit dari Desember tahun lalu”
Lembah Angin. Begitu kami menyebutnya.

Tempat sejuta memori nih ah

Tempat ini telah merebut ruang khusus dalam diri kami sejak langkah berat kaki lelah kedua puluh delapan siswa kali pertama menginjakkan kaki disini, Desember tahun lalu.
Karena tim kami, tim Bravo memilih jalur panjang dan terkira memiliki track yang cukup menguji skill panjat memanjat kami hahaha (membela diri), kami pun butuh waktu yang cukup lama untuk sampai di Lembah Angin. Ya, kita kalah cepat dari panitia sampai di Lembah Angin. Kita belum mencapai puncak Gunung Kencana dan sepertinya tidak berkesempatan mengunjunginya kali ini. Tapi bagiku sih bukan tentang cepat lambatnya, diasyikin aja sih! Karena kata Agam, kita kece yaudah sih gapapa keduluanan panitia juga hahaha
Kira-kira pukul 15.08 wib, begitu waktu di handphone ku saat sudah sampai di Lembah Angin dan sedang berisitirahat selagi menunggu Agam dan Jurem yang sedang mencari sumber air.
Berada lagi disini untuk kali kedua. Dengan orang-orang yang sama namun lebih sedikit jumlahnya. Kita berhasil melakukan navigasi darat dengan baik ya walaupun lebih banyak kita pakai insting aja jalannya. Menuruni tanah curam yang licin, belum lagi harus berusaha naik di tanah curam yang ya licin pula. Celana pada kotor, keringat bercucuran, apalagi wajah ya begitulah udah kurang enak dipandang hahaha.
Lembah Angin ini tempatnya cukup luas untuk bisa dijadikan tempat camping ehh engga deh, makasih. Entar camping nya berubah jadi ………… (terlalu menyenangkan lagi) sampai-sampai susah buat dilupakan hahaha. Eh engga bisa dilupakan malah. Daebak.
Kali ini kita dikasi kesempatan untuk merasakan sedikit hangatnya dan menikmati semburan cahaya mentari sore. Yang engga kita dapatkan saat kali pertama kesini. Sama sekali engga dapat! Cuma ada suara angin yang dengan semangatnya menari-nari di luar bivak kami dan gelegar langit yang seakan menggertak kami dan menertawakan kami yang bertemankan rinai hujan. Mengingatnya saja hanya akan menguak memori gelap itu hahaha.
Keadaan Lembah Angin gak banyak berubah. Kayu berukuran dua meter yang dapat dijadikan tempat duduk ini masih ada seolah menjadi identitas lembah ini. Pohon besar, tempat kami berlindung kala angin dan hujan berkunjung kala ini masih berdiri dengan kokohnya. Setiap sisi tempat di lembah ini seakan menjadi saksi bisu kenangan-kenangan (indah) kala itu. Ah, malah bernostalgia.
Beberapa waktu diam, bermain di pikiran masing-masing, Agam dan Jurem pun kembali dengan tetap membawa dua botol aqua kosong lagi kembali. Mereka tidak menemukan sumber air dan karena hari semakin sore kita harus melanjutkan perjalanan kembali.

7. KEMBALI KE SD CIKONENG
Dengan keparnoan yang naik beberapa level dan waspada siaga level akut akan serangan pacet kece kami pun bersiap kembali ke basecamp, lapangan SD Cikoneng. Perjalanan pulang kali ini dipimpin oleh Kak Kucai. Kita berjalan dengan cepat. Meski begitu, si pacet tetap saja selalu punya cara untuk menempel dimana saja. Karena sudah berkali-kali dikunjungi, masing-masing dari kami seperti sudah biasa eh engga juga sih heheeh tetep aja engga bisa engga panik (aku sih).

“Ngelihat apa bot?” Ora ada cowok kece di situ bot wkwk. “Gam ngapain?”

Tanpa berlama-lama. Beriringan, menyibak semak duri penghalang, berkali-kali hampir terpeleset jatuh, melewati bonggol kayu seperti jembatan, akhirnya mata kami disuguhkan oleh pemandangan hijau kebun teh. Akhirnya, keluar juga dari pintu hutan.

Disambut pemandang ini. Wah.

Keren gak? Aku (Lompoh) yang foto loh!

Sejauh mata memandang hanya hijau yang luas seperti tak berhujung. Dan jika memandang ke belakang kita dapat melihat Gunung Kencana yang tampak sedikit malu berselimutkan kabut. Sebelum terus melangkah melewati lereng-lereng perkebunan, kita sempat mengabadikan beberapa kenangan dalam bentuk foto. Kayak gini nih,

Sekali lagi, abaikan pose bahagia dan muka kucel kita wkwk

Tbh, pose yang lumayan alay ini recommended by para senior yak
(katanya: Ha tunjuk tuh tujuan kalian, Kencana) (“Siap kak!!”)

Akrab ya siswa dan kakak seniornya. Wah. Ups 
Kelar berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan. Langkah kaki ringan kali rasanya, yaiyalah poh, kau cuma bawa daypack isinya cuma konsumsi lagi! HEHEEHEHE

Perjalanan kali ini lebih banyak diamnya. Celotehan hanya sesekali terdengar. Jurem udah terlalu lelah ngomong, yakali dia paling banyak kena sial kali ini HAHAHA disengat tawon lah, paling hits lah di antara kita semua, fans nya paling banyak! Sayang kali tapi, pacet-pacet semua. “Sabar ya ju wkwkw!”
Enol, sang photographer kece kita yang memang lebih banyak diamnya sih kalo lagi jalan. Mungkin hemat nafas kali yak kan kalo banyak ngomong mengeluarkan banyak karbon dioksida dan lebih sedikit oksigen yang terhirup karena berebutan sama kita (?) apasih poh kan nyampah lagi… “Nol, ajak cakap gih kak Malger mhihihihi”
Si paling yang engga kece dari kita berlima, Agam. Paling engga jelas cakapnya asik “pacet kece…kita kece…pacet kece… wkwkwk (repeat)” Dia sweaper kami, seharusnya dia cameramen tapi dia gak mau karena mau narsis di fotoin! Ohiya, penemu cara jitu pengusir pacet juga nih ah! “Kapan kita patenkan penemuan kulit jeruk anti pacetmu, gam?”
Dan si medok Boto yang mentoring di gunung HAHAHA dan yang sama-sama heboh kalo ada pacet nakal nempel dimana-mana tapi dia sih udah biasa wong cacing aja pada demen sama dia. “balik-balik engga nambah kan cacingnya bot?”
Aku sih (Lompoh) kalem aja sih sepanjang jalan (numpang pencitraan boleh lah ya wkwk)

YEY!!
Gerimis menghantarkan kami sampai di basecamp, SD Cikoneng. Disana kak Jebul sudah menunggu. Dan selepas masuk ke dalam tenda, hujan mengguyur dengan sangat derasnya. Pada saat itu sudah sekitar pukul enam lewat sekian sore. Langit sudah mulai berganti warna gelap. Menunggu hujan, kita pun membersihkan diri seadanya di tenda, berganti pakaian, dan melahap sisa makanan yang kami bawa pada saat menuju Lembah Angin tadi. Setelahnya, karena kita ditinggalkan oleh kakak gh lainnya entah kemana, kami memilih untuk bermager-mageran dulu. Jadilah kami tidur-tiduran, nyanyi-nyanyi gak jelas (aku sama Boto sih), Enol sibuk dengan nasi bakarnya, Agam entah kemana dan Jurem gabut kayak biasa wkwk.
Setelah semuanya kembali ke tenda dan mendesak kita untuk segera menuntaskan masalah kelaparan mereka (re: makan malam). Dengan berat hati eh senag hati, kita pun masak seadanya. Malam itu kita sajikan nasi bakar bumbu nasi goreng plus sosis bunga goreng. Rasanya? Luar biasa lezat lah! Hidangan hotel seribu bintang nih ahay!

8. PERJALANAN PULANG
Kemudian, cleaning+packing! Malam yang semakin gelap dan jarum jam yang merangkak cepat memaksa kami untuk segera berkemas untuk kembali ke Bintaro. Apalagi besok harus kuliah pagi! Dengan penerangan seadanya, kita sibuk membereskan segalanya. Eh, ternyata bukan makin sedikit bawaan kita turun, ini kelihatannya makin banyak aja. Sampai-sampai Jurem udah kayak bawa kulkas tiga pintu, besar kali lah kalo dilihat dari belakang! Agam juga bawa carrier plus trash bag berisi sampah! Aku dan Boto juga bawa carrier loh! Kita kan gamau kalah juga. Enol malah bawa dua daypack depan dan belakang! Cah GH rek!!

Perjalanan menuju tempat angkot menunggu, kami habiskan menertawakan carrier kulkas Jurem dan gayanya bak porter dengan celana pendek,Agam dan Enol yang lebih banyak diam(?) dan karena takut kepeleset karna cuma beralaskan sandal dan itu jalannya licin dan becek jadilah Lompoh dan Boto berjalan bergandengan tangan (cih.) sambil tetap menertawakan apa saja. Ga jelas memang. Abaikan.
Kurang lebih sejam lebih berjalan, sampailah kami di tempat awal perjalanan ini di mulai. Si angkot putih udah nunggu lama. Tanpa berlama-lama kami pun segera menyusun carrier sedemikian kreatif dalam angkot dan langsung berangkat karena waktu pada saat itu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah sembilan. Wah semoga aja engga macet!
Di dalam angkot sepanjang perjalanan, aku gatau apa yang terjadi dan nampaknya engga terjadi apa-apa sih karena semua pada tepar! Terbangun cuma kalau bapak sopirnya mendadak ngerem aja itu juga karna kepala kepentok kaca. Beruntungnya kita jalanan pada saat itu engga macet, yay!
00:10 WIB. Angkot berhenti tepat di depan posko. Sampai juga akhirnya hufff! Posko tampak sepi dan sepertinya kami divisi terakhir yang sampai Bintaro. Setelah menuntaskan kewajiban ke bapak angkot, kami pun dengan masih mengantuk bergegas menuju posko. Berbincang sebentar, dan mengingat besok ada perkuliahan dan sudah terlalu larut dan lelah untuk cleaning kami pun segera beranjak pulang menuju kos masing-masing.
Dua hari satu malam, bersama sepuluh orang ini (Boto, Enol, Jurem, Agam, kakak senior (Saha, Kucai, Gelut, Malger, Jebul, Rege)) rasanya berlalu dengan sangat cepat karena terasa menyenangkan (itu yang aku, Lompoh rasakan sih hehehe). Oh iya kalau full team sih pasti lebih asyik! Caus sakit sih huhuhh
Gak bohong ternyata, bener-bener camping ceria ya kak hahaha!
Kita setuju sih sama om Carl Lewis yang bilang,
“It’s all about the journey, not the outcome”

Terima kasih kakak senior GH yang udah bersedia menemani perjalanan I mabim kita, GH kali ini!
Kemoceng a.k.a Cikoneng, terima kasih buat kenangan indahnya kali ini! 😛
Gunung Hutan??
Bantai!
Sikat!!
Lenyapkan!!!
See you in the next journey! Can’t wait!! Xoxo
Cikoneng, 30-31 Januari 2016