Catatan Perjalanan Mabim Rock Climbing

Rabu, 14 Maret 2022, aku bersama 3 orang siswa: Pedal, Tongat, Uhuy dan seorang senior, Bang Bajing menyepakati untuk berkumpul di posko untuk persiapan melaksanakan Masa Bimbingan (Mabim) di Tebing Citatah 125. Tebing sama yang dipilih oleh senior kami di tahun 2020 karena karakteristiknya terdiri dari batuan kapur yang aman untuk dipanjat dan juga menyediakan berbagai jalur pendakian yang ramah untuk pemula.

Ditulis oleh : Cipmang

Pada pukul 10.30 WIB, kami berangkat menaiki taksi online dari posko menuju terminal Kampung Rambutan dan bertemu Keper, salah seorang siswa lainnya yang menunggu disana. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus dan turun di pinggir jalan tol dekat Samsat Kabupaten Bandung Barat. Karena bukan tempat yang seharusnya untuk menurunkan penumpang, kami pun harus melewati pagar pembatas tol hingga memanjat dinding pembatas menggunakan tangga kayu dari warga sekitar, lalu dilanjutkan dengan sedikit berjalan untuk mencari angkutan umum. Tak lama kemudian kami ditawari oleh supir angkot untuk diantar sampai ke lokasi Tebing Citatah tanpa menjelaskan lebih lanjut walau kami sudah bertanya. Dengan perasaan sedikit ragu, kami pun menaiki angkot tersebut sampai ke lokasi. 

“Jadi totalnya berapa ya, A?” 

“Terserah mau bayarnya berapa, Neng? 

“Kalo 50 bisa ga, A?’

“180 deh, Neng. Ini bukan jalur saya soalnya, itu udah termasuk bensin sama bawaan yang banyak, belum lagi tadi kan kena macet.” 

Firasat kami ternyata benar setelah mendengar percakapan Keper dan supir angkot tersebut. Tanpa pikir panjang aku pun mencoba melakukan tawar-menawar dengan supir tersebut. Namun, karena tidak jago menawar, mau tak mau kami harus membayar 130 ribu sebagai ongkos. Tak ingin memikirkan hal tersebut, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju camp dan mendirikan tenda di atas saung di sana sembari merapihkan alat dan logistik yang kami bawa. Setelah itu, untuk mengisi kekosongan waktu, kami belajar materi pengenalan alat dan cara penggunaan harness webbing. Kami melakukan “mini competition” untuk memasang harness webbing tercepat, dan sama seperti latihan-latihan kami sebelumnya, lagi-lagi Pedal menjadi yang tercepat. Seusai menerima materi, selanjutnya kami memasak makan malam, lalu dilanjutkan bermain kartu sampai tengah malam. 

Keesokan harinya pada pukul 06.00 WIB, kami membuat roti panggang dan sereal untuk sarapan, serta mulai bersiap menerima materi. Sehabis sarapan dan menyiapkan alat-alat, kami pun bergegas menuju lokasi pemanjatan dan melakukan pemanasan di sana. Saat tiba di lokasi, aku merasa takjub dengan megahnya tebing yang berdiri di hadapanku, tak bisa kubayangkan jika harus memanjat tebing yang sudah jelas lebih tinggi dan terlihat lebih sulit dibandingkan dinding panjat yang biasa kami gunakan untuk latihan. 

“Uhuy, Cipmang, Tongat, kalian ikut aku ke atas buat pasang anchor!” Ucap Bang Bajing seraya menunjukkan jalan memutar melewati celah tebing yang mengarah ke gua di bagian atas tebing. Aku, Uhuy, dan Tongat pun mengikuti Bang Bajing dengan membawa tali dinamis, carabiner, dan webbing, serta pengaman yang dipasang di harness kami. Walau terlihat mudah bagiku untuk melewati celah tersebut, tapi pada kenyataannya aku sedikit kesulitan saat memanjat karena harus membawa tali di pundak. Untungnya sudah ada Tongat di celah tebing bagian atas yang siap menyambut tali yang kubawa sehingga aku bisa melewati celah tersebut dengan aman. Setelah melewati celah tebing, akhirnya kami tiba di mulut gua dan memasang anchor di sana. Sesudah memasang anchor, aku pun melihat ke arah luar mulut gua untuk mencoba menikmati pemandangan. Walau tidak seperti ekspektasi karena yang kulihat hanya pabrik-pabrik yang sedang beroperasi di depanku, tetapi jika kulihat ke arah bawah aku merasa puas karena sudah bisa berdiri di sini dan menghadapi ketakutanku terhadap ketinggian, terlihat juga Pedal dan Keper dari atas yang tampak bosan menunggu kami di bawah. Tidak tega melihat mereka yang sudah bosan, kami pun turun menemui mereka dan bersiap untuk memanjat tebing setinggi 125 meter ini.

Melihat tebing yang tinggi dari bawah sini, aku pun merasa 

tertantang untuk menjadi yang pertama kali mendapat giliran 

untuk mencoba memanjat dengan teknik top rope. Top rope 

sendiri adalah jenis pemanjatan yang cocok untuk pemula 

karena tali sudah terpasang di anchor yang berada di atas dan 

terhubung dengan belayer. Meskipun sudah berapa kali 

mencoba, tetap saja aku kesulitan mencari pijakan kaki untuk 

awalan. Akhirnya Bang Bajing memberikan contoh langsung 

kepada kami. Tidak disangka semua dari kami mampu 

memanjat sampai ke mulut gua, bahkan aku dan Tongat sempat 

mencoba teknik rappelling untuk turun ke bawah. Namun, tidak 

dengan Keper yang sudah kelelahan tepat beberapa meter 

sebelum sampai di mulut gua. Ada hal lucu juga yang terjadi di 

sini, karena sebagian besar waktu Pedal dan Keper yang menjadi belayer, mereka mendapat julukan baru, yaitu “Neng belay”. 

Puas mencoba memanjat tebing dengan teknik top rope, kami pun memutuskan untuk istirahat makan siang selama kurang lebih satu jam dan melanjutkan latihan memanjat dengan teknik lead, dimana Tongat mengawali praktik pemanjatan dengan teknik ini menggunakan sling dan carabiner yang dikaitkan pada hanger yang telah ada di tebing. Caranya dengan mengaitkan tali pengaman pada carabiner yang telah terpasang di hanger. Setelah Tongat mencoba, satu per satu dari kami pun bergantian mencoba sampai tak terasa senja sudah tiba. Kami pun memutuskan kembali ke tenda untuk memasak makan malam, lalu dilanjutkan dengan pembersihan. Kemudian malamnya, kami mempelajari berbagai permainan kartu yang ada, seperti 41, ‘minuman’, 7 sekop, dan lain sebagainya. Sempat juga kami bercanda dengan sedikit perdebatan kecil terkait penamaan permainan yang berbeda di tiap daerah. 

Hari selanjutnya kami mempelajari penggunaan artificial climbing, seperti friend, hexa, chocker dan piton. Sebelum mencoba memanjat dengan artificial climbing, kami perlu mengetahui celah-celah seperti apa yang bisa dimanfaatkan dengan alat-alat tersebut baru kemudian mempraktikannya. Namun, hanya Tongat saja yang mampu mencapai atas dengan teknik tersebut. Melihat Tongat yang berhasil sampai ke atas membuatku berkeinginan untuk mencoba, tetapi karena leherku terasa pegal saat menjadi belayer, aku pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tak lama datang pengurus registrasi yang mendatangi kami dan menyarankan untuk berhenti sebelum pukul setengah 11 dikarenakan hari ini hari Jumat, lalu beliau juga sempat menceritakan tentang kejadian yang pernah terjadi di sini dan mitos yang beredar di masyarakat sekitar. Mendengar perkataan beliau, kami pun memutuskan untuk istirahat dan melanjutkan latihan kami setelah makan siang. 

Materi selanjutnya yaitu ascending dan descending. Ascending adalah teknik untuk menaiki sebuah tali dengan menggunakan bantuan beberapa alat antara lain: jumar, carabiner, harness, dan tali prusik untuk pijakan kaki. Sedangkan descending adalah suatu teknik untuk menuruni

sebuah tali dengan menggunakan bantuan beberapa alat antara lain: figure 8, harness, dan carabiner. Di sini Pedal memberitahu “teori-teori”nya yang ia dapat setelah sekali mengikuti latihan di divisi caving. Aku yang sebelumnya pernah juga mengikuti latihan caving sebelum dirinya, hanya bisa tersenyum melihat ia mengeluarkan “teori-teori”nya. Saat tiba gilirannya, benar saja ternyata ia kesulitan mempraktikkan apa yang ia ucapkan tersebut. 

“Oh, jadi gitu caranya…” Ucapku kepadanya dengan maksud mengusilinya. Dia hanya bisa tersenyum malu mendengar perkataanku karena hampir semua“teori”nya terbukti salah. Setelah kami semua mencoba teknik tersebut, Uhuy ternyata ingin 

mencoba lagi karena masih penasaran, di sisi lain Tongat 

juga masih belum puas mencoba menggunakan artificial 

climbing untuk sampai ke atas. Bosan menunggu, Pedal 

mengajakku ke mulut gua dengan melalui jalan memutar 

melewati celah tebing karena penasaran dengan gua di 

atas sekaligus cleaning alat dan menunggu Tongat di atas 

sana. Saat tiba di atas, entah mengapa aku merasa lebih 

menikmati pemandangannya pada hari ini, padahal ini 

adalah tempat yang sama yang kulihat kemarin, mungkin 

karena suara-suara pabrik tidak terdengar hari ini atau 

hanya perasaanku saja. Tetapi apapun itu, itu membuatku 

merasa lebih tenang. Seusai membereskan alat, kami 

bertiga terlalu asik di gua sampai tak sadar rintik hujan 

telah turun dari langit. Kami pun langsung bergegas 

menuju tenda. Karena terburu-buru, kami baru sadar telah 

menghilangkan satu sling setelah melakukan pengecekan 

berulang kali. Melihat langit sudah gelap, kami 

memutuskan untuk mencari alatnya di esok hari, berharap 

alatnya hanya terselip di antara barang-barang kami. 

Malam harinya di tengah hujan yang lebat, kami menghabiskan logistik yang tersisa untuk dimasak, mulai dari mie, tumis sayur, rendang, hingga sambal belut. Malam ini kami menikmati makan dengan lahap. Walau mungkin terlihat sederhana, bagiku ini termasuk hal yang mewah, bukan hanya karena ini masakan terbanyak yang kami masak selama mabim, tetapi lebih kepada momen-momen yang mungkin tidak akan terulang kembali. Setelah lahap menghabiskan makan malam dan selesai membereskan alat makan; aku, Tongat, Pedal, dan Bang Bajing lanjut menghabiskan malam dengan bermain permainan kartu “TPA”. Kami menyebutnya dengan istilah “TPA” yang merupakan singkatan dari Tes Potensi Akademik karena pada permainan ini membutuhkan kemampuan berpikir untuk menghasilkan suatu angka menggunakan operasi matematika. Namun, Keper dan Uhuy memutuskan untuk istirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan untuk menyambut hari esok. Malam itu kami habiskan dengan suka cita, walaupun aku sendiri berada pada peringkat terakhir saat bermain permainan tersebut. 

Hari berikutnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu karena hari ini kami akan pergi ke puncak untuk melihat sunrise dari atas tebing. Dengan membawa peralatan dan sedikit logistik yang tersisa untuk dimakan di atas, kami pun mulai berjalan di tengah gelap sebelum fajar menyingsing, belum lama berjalan, kami ternyata meninggalkan hammock di tenda. Aku dan Uhuy pun kembali untuk mengambil hammock dan webbing jika diperlukan, lalu kami kembali untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Aku dan siswa lainnya mengira jalur menuju puncak

akan mudah dilalui. Namun, ternyata dugaan kami salah, jalan yang curam, belum lagi karena hujan lebat semalam sehingga kami kesulitan untuk melewatinya walau dengan bantuan tangan, bahkan Keper dan Pedal sempat terpeleset hingga meluncur ke bawah. Tidak hanya itu hammock kami pun juga tidak bersama kami. 

“Mang, hammocknya tadi dimana ya?” 

“Bukannya tadi dililit di badan ya?” 

“Kayaknya jatoh ke bawah deh, Mang. Aku coba cek dulu.” 

Setelah menunggu berapa saat, Uhuy kembali dengan membawa hammock yang terjatuh tadi, lalu kami melanjutkan berjalan dengan bersusah payah menyusuri jalur yang curam hingga akhirnya kami tiba di puncak tepat dengan terbitnya mentari. Sungguh merupakan salah satu fenomena indah yang pernah aku saksikan, melihat ‘baskara’ yang terbit di ufuk timur dari atas tebing ini ditambah hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut ke arahku. Pagi itu kami dokumentasikan sampai ‘mabuk’ sambil menikmati cemilan dan kopi yang sudah kami siapkan tadi. Puas menikmati indahnya mentari, kami pun turun kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan, tetapi kali ini kami melewati jalur yang cenderung aman untuk dilewati karena Uhuy dan Bang Bajing sempat melakukan survei jalur saat kami sedang asik berfoto. 

Saat kembali ke tenda, kami pun langsung memasak dan merapikan tenda untuk bersiap meninggalkan Citatah dan pulang ke Bintaro, tak lupa kami juga berpamitan dengan petugas registrasi yang berjaga, lalu kami berjalan ke pinggir jalan raya dan menunggu bus yang lewat. Selang berapa lama, akhirnya ada bus lewat, kami pun buru-buru menaiki bus tersebut. Ternyata bus yang kami naiki untuk sampai ke terminal Kampung Rambutan tidak melewati jalan tol, melainkan mengambil jalan berputar dan sempat melewati daerah Puncak Bogor. Walaupun memakan waktu yang sangat lama dibandingkan pada saat keberangkatan, sisi positifnya kami membayar ongkos pulang lebih murah dan bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan pulang sebelum kembali ke hiruk-pikuk kota. 

Perjalanan 4 hari 3 malam menghasilkan banyak cerita yang mungkin terdengar biasa saja bagi orang lain, tapi tidak bagi kami para siswa yang menganggap perjalanan ini sebagai momen yang

tak terlupakan. Aku berharap momen-momen berharga di tiap detik yang kami habiskan bersama dapat menjadi cerita yang akan kami kenang di kemudian hari. 

RC (Rock “Comedy” Climbing) “Let’s Rock !!! wiiiiiii !!!”