Melepas anggota STAPALA yang akan melaksanakan perjalanan sudah menjadi hal yang wajib dilakukan di posko. Iringan doa dan berfoto bersama sebelum keberangkatan menjadi penghangat bagi mereka yang akan melakukan perjalanan maupun ekspedisi. Hal yang sama pun dilakukan saat pelepasan empat orang atlet Ekspedisi Panjat Tebing Serelo pada minggu ketiga Agustus 2017 lalu. Istimewanya malam itu disisipi dengan acara potong tumpeng. Makan-makan memang selalu ditunggu bagi anggota STAPALA terkhusus yang masih menjadi mahasiswa. Bukan karena kesempatan untuk ngirit, tapi kebersamaan dan indahnya berbagi lebih utama dari sekedar menghemat uang makan. Namun, ada yang sedikit berbeda malam itu. Nasi kuning beserta lauk pauknya masih tersisa banyak. Wajar saja, waktu itu masih dalam masa libur semester dan hanya beberapa saja yang masih berada di posko, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa tingkat akhir yang tengah berkutat dengan karya tulis tugas akhirnya.

Perjalanan divisi RC kala itu bukan lagi selevel perjalanan biasa, tapi merupakan “ekspedisi panjat tebing”. Terhitung cukup lama juga STAPALA absen melakukan ekspedisi sejenis. Persiapan yang matang sudah dilakukan jauh-jauh hari bahkan berbulan-bulan sebelumnya, termasuk try out di tebing-tebing seperti Citatah, Ciampea, Jeger, Sepikul, Parang dan beberapa dinding panjat mapala-mapala sekitaran kampus PKN STAN mengingat tingkat kesulitan yang akan dihadapi. Tebing Serelo yang terletak di Kota Lahat Sumatera Selatan, di kalangan para rock climber terkenal memiliki keunikan hingga kesulitan tersendiri. Unik karena bentuknya yang menyerupai jempol raksasa yang seolah selalu memberikan semangat setiap yang melihatnya dan sulit karena ketinggiannya yang mencapai 350 meter dari permukaan tanah serta karakteristik tebing andesitnya yang halus nyaris tanpa cacat. Tipe batuan di Tebing Serelo juga sangat licin saat hujan maupun kemarau akibat tumbuhnya lumut yang menyelimuti permukaannya.

Menuju Kota Lahat dari Palembang lebih banyak dipakai keempat atlet untuk istirahat dan menyiapkan tenaga. Perjalanan selama kurang lebih enam jam itu diselingi dengan transit di Prabumulih dan juga belanja logistik di sebuah pusat pertokoan di Muara Enim. Cukup banyak memang belanjaan saat itu karena akan dialokasikan untuk kebutuhan selama empat hari. Sesuai rencana bahwa ekspedisi akan dilakukan selama tiga hari dan tambahan satu hari sebagai antispasi jika diharuskan untuk menambah waktu pemanjatan. Mendekati lokasi Tebing Serelo berada, jalanan mulai didominasi truk-truk besar pengangkut batu bara yang meninggalkan maupun menuju Lahat. Tak hanya Lahat sebenarnya, tapi sebagian daerah di Sumatera Selatan memang sudah tersohor akan kekayaan sumber daya alamnya berupa bahan bakar fosil itu. Semangat keempat atlet makin memuncak ketika diujung pandangan mata mulai tampak sesuatu yang telah lama ada diangan-angan mereka dan namanya telah lama mereka dengungkan namun baru saat itu secara langsung disaksikan. Kegagahan Tebing “Jempol” Serelo mulai terlihat dari kejauhan. Dengan ujung yang runcing pertanda tantangan yang disajikan Serelo memang bukan main-main. Namun, persiapan yang matang seakan menjadikan keempat atlet tetap mantap melangkah mendekati puncak Serelo.

Selayaknya tamu yang berkunjung di daerah orang, keempat atlet pun menjadikan kantor Kepala Desa Ulak Pandan sebagai tujuan pertama begitu sampai di Lahat. Sambutan warga desa yang sangat hangat dan ramah semakin membuat kagum disamping alam yang dimilikinya. Memasuki kantor kades, ternyata orang yang mereka cari untuk mendapatkan perijinan sedang tidak berada di tempat. Tak berpikir lama, para atlet berinisiatif untuk menemui Kepala Desa Ulak Pandan yang sedang memimpin pembangunan tempat wisata baru di tepian Sungai Pelancu. Lahat tak luput pula dari demam media sosial. Di tepian sungai tersebut tengah dilakukan pembangunan sebuah tempat wisata untuk berfoto selfie dengan latar Tebing Serelo sebagai daya tarik utamanya. Secara lisan para atlet melakukan perijinan kepada Kepala Desa Ulak Pandan untuk melakukan pemanjatan. Selain mendapatkan izin, tak disangka nasehat dan berbagai wejangan yang bersifat teknis maupun non-teknis turut didapatkan. Dimulai dengan memberi nasehat untuk selalu berhati-hati terhadap ular yang masih banyak terdapat disana terutama di pos-pos yang banyak ditumbuhi bambu. Arahan mengenai jalur menuju titik awal pemanjatan pun juga diberikan kepada kami, uniknya karena saat itu yang tidak ada kertas di lokasi kerja bakti tersebut jadilah para atlet dibekali peta yang dituliskan di sebuah sobekan kardus air mineral oleh kepala desa. Di akhir percakapan, ada satu amanah yang diberikan kepala desa Ulak Pandan kepada para atlet untuk memasang bendera merah putih di Bukit Serelo karena bendera yang terakhir dipasang disana sudah usang. Saatnya STAPALA turut menorehkan sejarah dengan memasang bendera di Tebing Serelo.

Sayup sinar matahari memanggil para atlet untuk segera mendatangi Bukit Serelo yang sudah mulai tak terlihat. Tepat terang berganti petang, para atlet mulai menapaki jalan melewati pintu masuk Bukit Serelo hingga terhenti pada gubuk bertingkat bersamaan dengan turunnya rintikan hujan.

Pagi buta para atlet disambut kawanan anjing perkebunan yang menemani keempat atlet hingga tetes kuah mie instan terakhir. Perjalanan para atlet dilanjutkan menuju pos 4, tempat tujuan berkemah sebelum menjajaki Tebing Serelo. Sesampainya di pos 4, para atlet langsung bergegas bersiap-siap dengan memecah tugas. Ada yang orientasi medan, memasak, mendirikan tenda, mengisi air dan mempersiapkan alat panjat tebing. Adzan dhuhur merupakan penanda puncak dari persiapan para atlet. Setelah solat dan makan, para atlet malakukan briefing strategi dan rencana pemanjatan pada hari tersebut. Tebing yang terletak di Desa Ulak Pandan, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat ini memiliki bentuk seperti gundukan magma setinggi 300 meter dan memanjang sejauh 3 kilometer. Tepat di tengah tebing ini menjulang batuan setinggi 150 meter yang makin meruncing dengan puncak tebing yang hanya selebar 10-15 meter. Hal tersebut yang menjadikan ciri khas pada Tebing Serelo yang berbentuk seperti jempol. Tebing Serelo terbentuk dari batuan andesit, seperti pada Tebing Parang ataupun Tebing Sepikul. Berbeda dengan Tebing Parang yang dari dasar pemanjatan stabil agak landai, Tebing Serelo menyajikan jalur yang bervariatif dimana pada awal pemanjatan, muka tebing landai dan makin keatas makin vertical sampai dengan overhang (Permukaan tebing yang menjorok keluar) pada tiap pitch-nya. Yang dimaksud pitch adalah permukaan tebing yang agak landai atau berbentuk teras yang dapat digunakan sebagai tempat peristirahatan saat pemanjatan.

Pemanjatan dilakukan dari Kedaton II sesuai arahan dan ijin Bapak Kades Ulak Pandan. Sedikit kecewa, karena ekspektasi para atlet bisa melakukan pemanjatan tebing setinggi 300 meter, yang kemudian hanya menjadi 150 meter saja. Pemanjatan keempat atlet lakukan dengan teknik Artificial Climbing dan system Himalayan yakni sistem pemanjatan big wall yang dilakukan sampai sore hari, setelah itu pemanjat turun ke basecamp untuk istirahat dan pemanjatan dilanjutkan keesokan harinya dimana alat masih menempel ditebing untuk memudahkan pemanjatan selanjutnya. Formasi pemanjatan dari tim panjat tebing serelo ini terdiri dari Kodim sebagai first leader, Bajing sebagai secondary leader, Ohan sebagai middle climber dan Luluk sebagai Cleaner. Senja menjadi awalan para atlet dalam pemanjatan tebing andesit yang menjadi ikon kota Lahat ini.

Terdapat dua jalur pemanjatan dari kedaton II, jalur pertama naik keatas lalu traverse ke kanan dan jalur kedua traverse ke kanan lalu naik keatas. Tim mengambil jalur pertama, naik ke atas sampai dengan dituntaskannya pitch pertama setinggi 50 meter dari titik pemanjatan. Satu hal yang berbeda, tebing ini menyajikan pacuan adrenalin yang berbeda dari biasanya. Kodim sebagai leader, merasakan begitu tegangnya tebing andesit yang minim cacat ini, khususnya ketika mulai memasuki medan vertical hingga overhang. Kodim yang biasanya selalu tenang dalam setiap try out, terlihat tegang dan kadangkala berteriak seiring susahnya mencari celah untuk pemasangan alat artificial climbing ditengah medan yang cukup susah. Lima meter sebelum pitch pertama, terjadi pergantian leader. Bajing sukses menuntaskan overhang sebagai puncak perjuangan pitch pertama sekaligus pemanjatan pada hari pertama.
Petang dan angin yang berlarian menuju ke tebing menandakan waktu bagi para atlet untuk beristirahat. Dimalam sunyi bersama kopi, keempat atlet melakukan diskusi merancang strategi dan rencana pemanjatan pada hari kedua. Alat dominan yang terpakai, perbekalan logistik, rundown dan target pemanjatan menjadi menu utama diskusi para atlet. Malam berganti pagi, alunan suara adzan subuh menjadi pembukaan atas realisasi hasil diskusi para atlet. Persiapan keempat atlet lakukan dengan matang sematang rendang dan halus seperti seduhan air kopi pagi para atlet. Mentari naik menemani langkah para atlet. Tak mau kalah, terlihat pula kambing berwarna hitam bercampur putih yang menemani dan menyemangati para atlet dengan suara embikan khasnya. Kambing itu adalah satu-satunya kambing tebing yang kami lihat saat itu, bahkan sesekali si kambing menunjukkan kelihaiannya memanjat Tebing Serelo seolah mengajak kami memanjat bersamanya.

Cuaca pagi itu cerah bersahabat, namun menjadi sangat terik di siang hari. Walaupun begitu, semangat tim masih lebih panas dibanding sang surya, apalagi ketika dipertemukan dengan overhang. Tidak kurang dari lima overhang para atlet temui pada pemanjatan , bahkan pada pitch terakhir, dimana Bajing kembali menahkodai pemanjatan menggantikan Kodim, overhang pun Bajing gempur dengan zig-zag. Meskipun kaki tak henti bergetar sekencang detak jantung ketika membuka pengumuman kelulusan yang bertepatan dengan hari pemanjatan, semangat untuk menuntaskan setiap pitch lebih tinggi. Senja kembali datang bersamaan dengan kebahagiaan para atlet menggapai puncak Tebing Serelo. Rasa puas dan bangga menyatu dengan rasa takjub sinar senja dipadu dengan kelok Sungai Musi. Sungguh rasa yang manis dan tak akan pernah terlupakan. Latihan berbulan-bulan para atlet terbayarkan sudah.

Senja berganti malam, waktunya para atlet menuruni tebing yang mulai gelap tak terlihat. Sebenarnya hati ini masih berat untuk meninggalkan puncak Serelo yang kami gapai dengan susah payah. Dalam lubuk hati masih ingin bercumbu bersama desahan angin di puncak Tebing Serelo. Luluk sebagai Cleaner berganti peran menjadi peran utama. Disambut adzan maghrib para atlet menuruni tebing diiringi angin yang kencang masuk hingga ke tulang. Pukul 21.00 WIB para atlet sampai kembali di Kedaton II sebagai tanda berakhirnya petualangan. Banyak pelajaran dan pengalaman para atlet dapatkan dari ekspedisi ini. Satu harapan pasti, ekspedisi ini menjadi pintu ekspedisi besar STAPALA dalam bidang panjat tebing. Bukan hal yang mustahil, STAPALA bisa mengibarkan bendera kebanggaan di puncak Tebing El Capitan ataupun Eiger yang punya tingkat kesulitan yang luar biasa.