Mendaki Gunung merupakan aktivitas alam bebas tertua di Stapala. Salah satu kegiatan yang mempersatukan mahasiswa STAN kemudian mendirikan Kelompok Pencinta Alam adalah pendakian gunung. Pada periode tahun 60-70 an Kegiatan mendaki gunung adalah aktivitas terkenal membutuhkan ketahanan fisik dan nyali yang besar. Kalau di tanya kegiatan alam bebas apa yang paling sering dilakukan Stapala, jawabnya pasti mendaki gunug. Kalau ditanya kegiatan alam bebas apa yang paling banyak diminati anggota , jawabnya pasti mendaki gunung.
Mendaki gunung sudah berurat berakar di kalangan anggota Stapala. Hampir seluruh gunung-gunung di Indonesia pernah di rambah anggota Stapala secara tim atau pun perorangan. Mulai dari Gunung-gunung diseputaran Jakarta yang menjadi langganan seperti Gunung Gede Pangrango, sampai dengan Puncak tertinggi di Afrika, Mt. Kilimanjaro. Gunung lain yang banyak menjadi tujuan pendakian anak Stapala adalah Gunung Semeru di Jawa Timur. Kurang afdol rasanya kalau sampai dengan lulus kuliah belum mendaki Gunung Semeru.
Divisi Gunung Hutan sudah ada sejak Stapala didirikan. Bahkan, pada masa awal pendirian, pendakian gunung dan berkemah adalah satu-satunya kegiatan anak-anak Stapala di alam bebas. Tanpa di rencanakan pun, setiap ada waktu luang sudah hampir dipastikan dipenuhi dengan kegiatan mendaki gunung. Begitu pula pada masa liburan kuliah, anak-anak Stapala akan pulang kampung sambil mendaki gunung. Liburan Hari Raya seperti lebaran pun di isi dengan mendaki gunung di seputaran daerah tempat tinggalnya. Kegiatan mendaki gunung sudah menjadi rutinitas, olah raga, refreshing, bakti sosial, silaturahmi, sampai PeDeKaTe (pendekatan:red).
Kebanyakan pehobby mendaki gunung akan tetap mendaki selama masih merasa kuat. Banyak memang yang setelah lulus kuliah tidak lagi mendaki gunung, tetapi kebanyakan anak Stapala masih mendaki gunung sampai dengan 5-10 tahun setelah lulus kuliah. Bahkan beberapa anggota masih mendaki gunung sampai usia lebih dari 40 tahun seperti yang dilakukan oleh Heliantono ‘Assoe” (057/SPA/85), Buchori Nahar (237/SPA/90), Agus Subagyo “Gustav” (166/SPA/88), dan lain lain.
Beberapa kegiatan pendakian juga melibatkan kalangan kalangan mahasiswa umum seperti kegiatan pendakian umum. Stapala berusaha mensosialisasikan bahwa mendaki gunung adalah kegiatan yang menyehatkan, aman, dan menyenangkan.
Beberapa kegiatan pendakian besar atau ekspedisi pendakian yang dilakukan oleh Stapala adalah :
1. Ekspedisi Mt Blanc/ Mt. Matterhorn (Swiss) tahun 1987.
2. Ekspedisi Mt.Cook (New Zealand) tahun 1990
3. Ekspedisi Mt. Kilimanjaro (Tanzania) tahun 1992
4. Ekspedisi Carstenz (Papua-Indonesia) tahun 1993
5. Ekspedisi Lauser (Aceh-Indonesia) tahun 2007
Selain pendakian gunung-gunung, Divisi Gunung Hutan juga melakukan ekplorasi Hutan Lindung seperti
1. Taman Nasional Ujung Kulon
2. Taman nasional Meru Betiri
Kenapa Mendaki Gunung?
Mendaki gunung seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat. Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain, mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa. Apalagi untuk gunung-gunung populer dan mudah didaki, seperti Gede, Pangrango atau Salak. Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di antara tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.
Meski tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai (karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat (Badan SAR Nasional, 2001).
Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Seperti yang dinyatakan dalam data harian Kompas, tercatat dari 50 orang yang pernah tertimpa musibah dalam pendakian gunung Semeru, Jawa Tengah, 24 orang dinyatakan tewas, dua orang hilang, 10 orang luka-luka, dan empat orang selamat.
Banyaknya kecelakaan dan hambatan yang kerap dialami oleh orang yang mendaki gunung, tidak membuat para pendaki berhenti melakukan pendakian. Data terakhir menyatakan bahwa pada bulan Juli 2002 masih dilakukan pendakian oleh sepuluh pendaki gunung asal Bandung menuju gunung Slamet. Pendakian tersebut menyebabkan kesepuluh pendaki gunung tersebut hilang sehingga diperbantukan sebanyak 24 orang anggota Tim SAR Polres Purbalingga dan gabungan pecinta alam dari Purwokerto diterjunkan ke lokasi untuk mencari para pendaki gunung tersebut. Bahkan yang terbaru dalam kasus kecelakaan di gunung yaitu hilangnya 3 mahasiswa Bandung di gunung batur Bali pada akhir tahun 2007.
Risiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan sensasi] tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem [kebanggaan /kepercayaan diri].
Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang dilakukan oleh para pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung. Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.
Fenomena yang terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.
Puncak Ciremai…Catatan YUSTINA RONNY PUSPITA INTAN HAPSARI 846/SPA/2008
Apakah mungkin tim saya yang hari sebelumnya menempuh jarak demikian jauh dengan medan yang demikian berat bisa bangun jam 3 pagi untuk packing dan summit attack?
saya biLang, tidak.
Beberapa kaLi saya terbangun, saya tidak tahu jam berapa, tapi semua masih terLeLap. Baru seteLah cahaya matahari muLai menyusup ke daLam tenda kami, saya membuka mata dan mendapati Gobog sedang bercakap-cakap dengan Depex. Di Luar tenda gerimis rupanya masih mengguyur. benar saja, kami semua jadi enggan untuk keLuar dari kehangatan daLam tenda. Tapi berhubung maLamnya kami tidak makan, pak Dosko yang emosi karena keLaparan mendorong kami untuk masak. Huhuiii…. Logistik yang kami bawa sebenarnya tidak seberapa banyak. Tapi berkat pak Dosko yang seLaLu siap sedia berperan sebagai menteri konsumsi, kami berpesta pagi itu.
Ketika sarapan siap, hujan sudah berhenti. Tim 1 yang sudah seLesai makan pun muLai packing. “Tetangga… makan…” ujar kami, menawarkan sebagian makanan yang memang banyak sekaLi – gara2 pak Dosko emosi. Tapi hanya Becex dan Reman yang menanggapi tawaran tersebut, waLaupun sudah beruLang kaLi Gobog berseru,”Oi, tetangga Kampang… makan….” – ah, atau justru karena ditawari seperti itu ya? He3…
Sekitar jam 9 tim 1 muLai mendaki menuju puncak sementara kami baru muLai packing dan cLeaning Lokasi camp, baru sekitar 1 jam berikutnya, kami menyusuL naik.
Mendekati puncak, pepohonan makin jarang dan pendek. Kami menjumpai beberapa edeLweiss tapi tak ada satu pun yang berbunga.
Semakin mendekati puncak, semakin sering kami berhenti untuk berbaLik dan terkesima oLeh indah pemandangan di beLakang kami – hamparan kota, gunung Slamet,
birunya Laut jawa segaris dengan cakrawaLa. Benar-benar tak terLukiskan indahnya.
Semakin mendekati puncak, semakin pekat bau beLerang menyapa penciuman kami
Semakin mendekati puncak, semangat semakin terpompa.
Semakin mendekati puncak…
Semakin dekat….
Kami harus mLipir kawah untuk bisa mencapainya…
Hanya sedikit saja…
Semakin dekat…
“PUNCAAAAAAKK!!!!!!”
3.078mdpL. puncak Ciremai.
Sampai sekarang, saya masih sejenak menahan nafas kaLau teringat sensasi saat menjejakkan kaki di puncak Ciremai, teringat ketika menyentuh tugu – yang sebutannya saya Lupa – yang menandai Tanah tertinggi di Jawa Barat itu.
Ketika memandangi cantiknya biru Langit bertemu dengan bentang Laut di garis cakrawaLa. ketika tersadar kami harus menunduk untuk memandangi awan. Ketika meLihat hamparan kota jauh di bawah sana. Ketika mengagumi keagungan kawahnya. Ketika teringat nyeri yang tadi mengiringi Langkah kami. Ketika rekan-rekan saya memandang Slamet yang menjuLang agung nun jauh disana – dan mengacungkan tangan menunjuknya sembari berseru, “Next Destination!”
Saya tidak tahu harus menuLis apa untuk menggambarkan perasaan saat itu. Maaf, tapi memang saya tidak bisa menemukan kata yang tepat. Saya rasa, Anda harus ke puncak Ciremai untuk mengerti maksud saya.
Puncak Ciremai, 3 Februari 2008 – takkan terLupa.
Ciremaiiiiiiiiiiiiii………..
ahh…..
kapan lagi ya rony??
-841-