Kamis 16 April 2009,. Langit subuh sudah menggelayut di atas alam ini. Satu persatu kami bangun dan dengan sigap melakukan apa yang seharusnya kami lakukan. Pukul 05.30 wib kami berangkat menuju ke puncak kalibaru. Sekitar lima menit kemudian kami sudah sampai dipuncak kalibaru atau juga disebut puncak bendera. Segera kami memasang harness dan peralatan metal lain. Setidaknya pada harness kami terpasang figure of eight dan carabinner screw. Setelah berdoa tim segera beranjak untuk menyusuri igir-igir pertama ( igir-igir adalah jalur tipis panjang yang di kanan kirinya jurang ).

Paling depan adalah cak Hilmi disusul temen-temen stapala dan yang paling belakang adalah cak To. Kami membawa 2 buah tali kermantel, 1 semi dinamis dan 1 dinamis. Sebelum melewati igir-igir tadi, tim sempat berunding apakah akan berjalan dengan moving together ( berjalan bersama dengan dihubungkan satu tali antar personil ) atau berjalan free. Akhirnya dengan pertimbangan dari cak Hilmi ( yang sudah berpengalaman berkali-kali menjamah puncak sejati ), serta melihat kondisi fisik dan mental personel maka kami memutuskan untuk berjalan free ( Moving together akan berguna jika ada salah satu orang yang terpeleset maka dia masih tertahan oleh temannya dengan tali yang terhubung tadi. Namun, jika orang yang menahannya tadi juga tidak kuat maka otomatis kedua orang yang terpeleset tadi akan sama-sama jatuh. Memang setiap teknik pasti ada sisi positif dan negatifnya).

Igir-igir pertama kami lalui dengan pasti. Ternyata igir-igir yang pertama ini tak sesulit yang saia kira. Batuannya solid dan lumayan masih agak lebar meskipun di kanan kiri nya diapit oleh jurang. Kami telah sampai di ujung igir-igir. Di depan kami sekarang adalah tebing puncak tujuhbelas. Di kanan kami lerengan yang langsung menuju ke jurang yang kami tak bisa melihat dasarnya. Di kiri kami sama saja. Puncak tujuhbelas ada di depan kami, dinamakan puncak tujuhbelas mungkin karena Pataga, Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya yang mempublikasikannya pertama kali. Puncak ini harus kami lalui untuk sampai pada igir-igir kedua. Ada dua jalan yang bisa kami pilih, pertama memanjat tebing yang ada di depan kami dan yang kedua adalah traverse (berjalan menyamping disisi tebing) melewati tebing sisi kanan puncak ini. Kami memilih untuk traverse saja karena kelihatannya lebih mudah. Cak Hilmi yang pertama sekaligus memasang tali pengaman. Pasak-pasak sudah terpasang disini dan diposisi yang sudah tepat.

Segera setelah tali terpasang, saia yang pertama melakukan traversing. Saia tautkan carabinner screw ke tali berharap jika sampai saia terpeleset masih akan tertahan oleh tali. Satu-satu kaki saia melangkah. Bebatuan di tebing puncak tujuhbelas ini dapat dikatakan rapuh. Bukan batuan solid menurut saia. Hanya bebatuan yang terlekat oleh lumut dan menjadi kuat karena saking lamanya. Namun, ada juga yang termasuk batuan solid. Langkah terakhir usai sudah, kini saia sudah berada di titik aman. Giliran sekarang teman-teman yang lain melakukan traversing. Satu persatu melakukannya dengan baik. Kini kami semua telah berada di atas puncak tujuhbelas. Ternyata puncak ini tak seruncing yang kami lihat dari puncak kalibaru tadi. Tempat ini lumayan lebar( tepatnya memanjang). Kami berkumpul di atas puncak tujuhbelas sambil menenangkan diri setelah salah satu titik kritis tadi.

Dari puncak kalibaru tadi sampai di puncak tujuhbelas ini titik-titik kritis ditandai dengan sebuah bendera kecil berwarna oranye. Mungkin saat TWKM kemarin bendera-bendera ini dipasang. Di depan kami adalah igir-igir kedua. Di kanan igir-igir masih berupa lerengan yang langsung berujung pada jurang. Kami satu persatu melangkah melewatinya. Di beberapa tempat kami harus sangat berhati-hati karena igir-igirnya benar-benar tipis. Kami telah sampai pada ujung igir-igir ini. Di depan kami jalur putus dan harus turun ke bawah. Rappeling menjadi pilihan wajib kami. Setelah tali terpasang pada pasak, satu persatu kami menuruni jalur rappeling ini sepanjang kurang lebih 15-20 meter.

Disinilah terakhir kali kami menggunakan tali. Batuannya mudah sekali rontok. Satu persatu kami menyelesaikannya, sekarang kami sudah ada di bawah puncak tengah. Kami tidak harus menaiki puncak ini karena jalur ke puncak sejati adalah melipir ke kanan menuju ke lingkar tebing kawah. Dengan berjalan melipir ke kanan kami sudah berada di lingkar tebing kawah. Di depan kami adalah dinding batuan rontok menghampar lebar, jauh, serta panjang. Kemiringannya mungkin kurang lebih hanya 45-50 derajat. Kami harus melaluinya dengan berpedoman pada tusuk gigi yang ada di atas kami. Tusuk gigi itulah tujuan kami sebelum mencapai puncak sejati. Berjalan zig-zag sangat dianjurkan dan mungkin wajib dilakukan karena batuannya sangat mudah sekali longsor.

Awas “Rock…!!!”

“Rock…!!!” sesekali kata itu terdengar ketika salah satu diantara kami menginjak batu yang kemudian terlepas ke bawah agar orang yang ada di bawahnya tau jika ada batu yang jatuh. Suhu mulai panas kami rasakan. Saia kemudian melepas sarung tangan tapi ternyata batuan yang menjadi pegangan masih sangat dingin ketika saia pegang. Terpaksa saia pasang kembali sarung tangan ini. Tusuk gigi ternyata sudah ada di depan mata kami. Batuan runcing yang sangat kecil jika kami lihat dari puncak kalibaru ternyata sangat besar jika dari dekat. Runcing, tinggi menjulang. Kami melipir belok ke kanan melewati sebuah celah batuan. Sampai di sebuah celah terakhir kami harus naik ke arah kiri. Agak susah karena tebing batu ini tidak solid dan rapuh. Namun inilah satu-satunya jalan untuk menuju ke puncak sejati. Dengan bantuan webbing coti menaiki step terakhir ini. Satu persatu kami melewati step terakhir ini. Semua telah berada di atas step tadi. Di depan kami jalur landai berbelok ke kanan.

Di depan kami telah dapat kami lihat kaldera yang luar biasa luas terhampar. Kami terus berjalan melipir ke arah tanah itu. Beberapa pasak tertancap disana, terbaca oleh kami plat pataga dan tertulis “Puncak Sejati 3344mdpl”. Tanah ini ternyata telah kami injak, tanah tertinggi di gunung ini. Puncak Sejati Gunung Raung telah ijinkan kami menjamahnya sejenak. Saat itu pukul 09.30 wib. Saat langit di atas kami berwarna sangat biru dan disekeliling kami sudah tidak ada tanah yang lebih tinggi lagi. Terimakasih Tuhan…Terimakasih Tuhan….terimakasih Tuhan…!!!

Langit di atas kami sangat biru,

Tanah yang kami pijak pun sudah tak ada yang lebih tinggi lagi,

Plat puncak sejati pun sudah dapat kami baca,

Ya…kami telah disini.

Puncak sejati gunung raung, 3344mdpl

Terimakasih Tuhan…

Terimakasih…!!!

Sigit Pambudi “asig(828/SPA/2008)