raungcodetPada awalnya kegiatan ini akan dilaksanakan oleh satu tim dengan sistem mendaki tujuh gunung dalam satu trip atau secara rally. Perkiraan waktu tidak memungkinkan untuk diselesaikan oleh satu tim. Kemudian dibagilah menjadi dua tim dengan nama yang secara spontan keluar dari mulut, MU dan Tangerang Wolves. Tim MU terdiri dari Gokong, Codet, gembes dan Tumber. Tim ini akan mendaki lima gunung sekaligus, Raung, Arjuna, Welirang, Penanggungan dan Semeru. Sedangkan Tangerang Wolves beranggotakan Kace, Joneh dan Ewel, mereka mendaki Argopuro dan Lawu.

Tanggal 5 Maret 2011, berangkatlah kami divisi Gunung Hutan menuju provinsi dengan jumlah penduduk terbesar se-Indonesia, Jawa Timur. Saya, Codet, Joneh, kace, Gembes dan Ewel akan menuju Surabaya dengan kereta Kertajaya yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen. Sungguh malang ketika kami harus mendapatkan tiket dengan keterangan di karcisnya ”BDR-, TANPA_TMP_DUDUK”.

Akhirnya kami berpencar mencari kenyamanan masing-masing di kereta. Sementara Joneh dan Kace nggak tahu gimana caranya bisa mendapatkan tempat duduk. Bagi saya dan codet yang terbiasa naik kereta langsung melancarkan aksi kolong mania diikuti Ewel, tidur dengan nyaman di bawah jok penumpang. Sebenarnya ya nggak nyaman-nyaman amat sih, karena kaki kita yang menjulur ke jalan terkadang harus terinjak penumpang dan pedagang yang lewat. Nah, Gembes sendiri lebih memilih duduk di sebelah sambungan gerbong dengan sesekali kepala harus menyerempet bokong orang yang lewat. Ya pedagang pecel, ya rokok, kopi-popmi, lanting, nasi.. alamaak, ternyata oh ternyata Gembes mengambil kesempatan.

Pulsa! pulsa! pulsa! pulsuuwaa..!

Teriakan pedagang pulsa yang aneh itu membangunkan kami yang ada di kolong. Ternyata matahari sudah terbit, jam menunjukkan pukul 07.30. Kami bertiga bangun dan duduk di kursi karena memang sudah ada beberapa penumpang yang turun. Surabaya masih satu jam lagi, dan saya akan mencari botol minuman kosong seperti yang sudah direncanakan kemarin. Botol yang ditinggal penumpang kita pungut layaknya pemulung kereta. Daripada kita membeli yang masih segel mendingan kita isi ulang saja biar ngirit. Toh waktu pendakian kita isi lagi dengan air dari sumber . Enam belas botol berhasil kita kumpulkan.

 

Sesampainya di Stasiun Turi, Surabaya dan kedua tim berpisah. Saya bersama aggota tim MU lainnya menuju gunung Raung di Banyuwangi dan mereka tim TW menuju ke Argopuro via Barderan. Perjalanan selanjutnya menuju Banyuwangi menggunakan kereta Sri Tanjung dari Stasiun Gubeng, dan di sanalah kami bertemu dengan Tumber, satu-satunya personil cewek dalam tim ini. Sebelum sampai di Gubeng, kamisempatkan jalan-jalan di pasar Turi yang menghasilkan sepatu tracking made in Filipina. Awalnya harga yang di tawarkan 250.000, tapi akhirnya bisa di lepas dengan harga 50.000. hal kocak yang sulit dilupakan adalah diusir petugas penyemprot taman kota. Hampir saja kami di semprot mobil pemadam kebakaran, karena kita tiduran di taman tengah jalan. Kemudian sesampainya di Stasiun Gubeng kami bertemu Tumber yang di antar oleh Nesting, senior kami yang sedang kuliah di ITS. Nasi Padang dengan lauk ayam yang dibelikan Nesting, itulah sarapan kami di hari itu. Pukul 14.00 kereta Sri Tanjung akhirnya tiba dan kita akan segera ke Kalibaru, Banyuwangi.

Pukul 21.00 kami tiba di Stasiun Kalibaru, Banyuwangi. Kami di jemput menggunakan motor oleh Cak Hilmi dan teman-temannya. Cak Hilmi adalah pemandu perjalanan kami mendaki gunung ini. Buat saya pemandu sangat diperlukan, mengingat kondisi jalur yang masih rimbun dan panjang. Bahkan kami memperoleh informasi bahwa pendakian via Kalbaru ini terakhir didaki pada Oktober tahun lalu. Sebenarnya untuk mendaki gunung Raung ada jalur konvensional yang umum didaki, yaitu jalur Sumberwringin. Namun jalur ini tidak bisa mencapai titik tertinggi Raung. Untuk mencapai puncak tertinggi atau biasa orang menyebutnya puncak sejati dapat melalui jalur Kalibaru dan jalur Glenmore. Jalur Glenmore sangat tertutup dan lebih panjang jarak tempuhnya, sehingga jalur ini sampai sekrang sudah jarang dilewati.

Malam itu juga kami bersama Cak Hilmi yang menjadi dedengkot Pecinta Alam “Regass” membahas rencana keberangkatan esoknya. Peralatan panjat, air, rencana camp dan lain-lain kita matangkan malam itu juga. Makanan dan minuman dan logistik lainnya memang kita rencanakan beli di kalibaru agar tidak merepotkan waktu perjalanan dari Jakarta. Di forum malam itu juga sekaligus kita berbagi ilmu tentang pendakian. Setelah kenyang melahap nasi goreng kami pun tidur di basecamp Regass.

Senin pagi, kami bertugas masing-masing sesuai rencana semalam untuk mempersiapkan keberangkatan hari ini. Gembes dan Tumber belanja, saya dan Codet sibuk cek peralatan. Pagi itu kita makan dari hasil masakan kami di rumah Cak Hilmi. Selesai makan kami packing semua yang perlu di bawa. Siang itu saya sebagai kepala tim diajak ngobrol berdua dengan Cak Hilmi. Dalam obrolan itu, Cak Hilmi baru mengatakan kalau beliau tidak bisa ikut pendakian dikarenakan istrinya tengah hamil tua. Memang isterinya sedang hamil tua dan di hari itu juga prediksi kelahiran. Sebagai gantinya adik Cak Hilmi, Cak Inung atau Cak Nu biasa kita memanggilnya yang tak kalah jam terbangnya. Ada pula tambahan satu orang lagi, Kempul, anak Mapala Universitas Muhammadiyah Jember, namun dia belum pernah mendaki Raung.

 

HARI PERTAMA  “GO TO STARTING POINT”

Jadilah Senin Sore itu kami ber-enam berangkat menuju Pos 1, batas antara kebun kopi dan hutan. Dilangsir dua kali dengan tiga motor kami diantar menuju Wonorejo, dusun terakhir dan sama sekali bukan dusun tertinggi karena lokasinya masih di dataran rendah. Perl diingat, Raung ini kita benar-benar mendaki dari bawah.

Persiapan berangkat

Alangkah sialnya, sesampainya di Wonorejo baru ingat sepatu tracking saya untuk mendaki ketinggalan. Langsung pinjem motor Cak Hilmi, kira-kira membutuhkan waktu 45 menit pulang-pergi. Dan hujan turun sangat deras ketika perjalanan kembali ke Wonorejo. Kami belum memulai perjalanan, masih menunggu hujan reda. Pukul 16.10 hujan sudah tidak begitu deras, kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak agak berpasir tengah kebun kopi. Pos 1 atau biasa disebut Pondok Pak Sunarya berada di ujung kebun ini. Namun rasanya kebun ini sangat luas dan jalan ini tidak juga sampai ujungnya, padahal kami sudah jalan dengan langkah cepat. Akhirnya setelah berjalan kurang lebih satu jam kami tiba di sebuah rumah kayu dengan beberapa tumbuhan liar tumbuh di dalamnya, inilah Pos 1. Pos ini adalah bekas rumah Pak Sunarya, seorang petani yang kini tinggal tidak jauh dari Pos 1, di punggungan sebelah timur dari Pos ini.

Hujan rintik-rintik masih belum berhenti, kami segera memasang dua flysheet yang kita bawa. Malam ini kita akan menginap di Pos ini dan memulai pendakian esok pagi. Cukup dengan memasang flysheet tanpa perlu mendirikan tenda karena kondisi pos ini lumayan nyaman, dengan dinding kayu yang masih rapat hanya atapnya yang sudah rusak parah. Dengan alas daun pisang dilapisi matras dan beratap flysheet biru kesayangan saya, kami menikmati syahdunya malam itu. Sambil memasak, kami banyak ngobrol dengan Cak Nu tentang rencana besok dan banyak hal mengenai gunung ini. Mie instan dan nasi yang kita lahap malam itu tidak juga mengantarkan kita untuk tidur. Ditemani kopi serius berampas yang rasanya mantep abis, kami masih juga ngobrol ini itu. Akhirnya pukul 21.00 kami tidur, saya tidur tanpa SB, berselimut bendera organisasi yang lumayan lebar. Sebelum tidur saya sempatkan mengoles dua bekas hisapan pacet keparat dengan salep khusus yang saya bawa.


GO GO POWER RANGERS

Pagi ini, usai solat Subuh saya dan Tumber yang sudah bangun lebih awal segera menyiapkan sarapan pagi. Sarden dan nasi gulung semoga bisa menjadi stamina yang oke untuk perjalanan kami hari ini. Tidak beberapa lama setelah sarapan kami kedatangan Cak Heru, anggota Regass yang kemarin mengantar ke Wonorejo dan sempat kehilangan kunci motor. Ternyata Cak Heru ini akan bergabung di pendakian ini. Akhirnya tim ini menjadi tujuh personil.

Sebelum memulai pendakian, kami sempatkan mampir ke rumah Pak Sunarya sekaligus mengambil air di lembah dan juga sekaligus saya buang hajat besar-besaran, hehe.. Rumah Pak Sunarya ternyata sangat ramai, dan kesemuanya adalah keluarganya. Anak-anak dan cucu-cucunya tinggal jadi satu dalam tiga rumah yang berdekatan itu. Di dinding kayu rumahnya terpajang foto-foto pendaki yang sering mendaki Raung. Perhatian saya tertarik pada satu foto yang berdasarkan tulisannya itu adalah foto anak-anak Mapala Untag, Pataga yang merintis jalur Kalibaru. Memang jalur ini pertama di buka oleh anak-anak Pataga pada 2003 silam.

Usai meneguk air suguhan Bu Sunarya, kami pamitan dan tak lupa kami berfoto. Siapa tahu foto ini akan terpajang di dinding rumahnya di kemudian hari. Sesampainya di Pos 1 kami segera packing barang-barang kami, termasuk jerigen-jerigen berisi air penuh. Kecuali saya, saya lebih nyaman menggunakan botol karena lebih nyaman dan lebih banyak variasi packingnya. Selain itu kalau menggunakan botol, ketika air sudah habis bisa kita kempeskan dan space kosong bisa kita isi dengan yang lainnya.

Buuusyett beratnya..! air tidak kurang dari sembilan liter dan barang-barang lainnya. Itulah isi dari dalam carrier saya ditambah tenda dan logistik menjadikan carrier saya adalah yang terberat. Sementara yang lain juga tidak jauh beda beratnya, kecuali Tumber yang memang harus di batasi bebannya demi keadilan gender. Maklum, kita kudu membawa kebutuhan air selama empat hari karena selama pendakian tidak raung2ditemukan mata air sama sekali. Sebenarnya ada tandon-tandon tadah hujan yang dibuat di setiap shelter, namun kami tidak mengandalkan itu. Siapa tahu air itu tidak layak atau bahkan mungkin tandon di situ sudah banyak tertimbun daun yang gugur.

Selasa, 8 Maret 2011 tepat pukul 09.30 kami mulai langkahkan kaki. Sambil beradaptasi dengan beban, kami melangkah secara perlahan. Nafas belum juga menemui iramanya, sementara jalan masih sangat landai. Beban yang kita bawa sangat menguras stamina. beberapa ratus meter sisa kebun kopi sudah berujung pada gerbang belantara. Hutan yang mulai rapat dan jalan yang mulai menanjak. Cak Heru yang menjadi navigator perjalanan ini mulai sesekali mengayunkan parangnya. Tumbuhan berduri dan beberapa semak beracun seperti tumbuhan kemaduh tumbuh menjulur di sepanjang jalan setapak.

Jam menunjukkan pukul 13.30, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan kami perlu istirahat agak lama. Di pos bayangan ini kita makan siang.

Roti tawar dan selai coklat yang lezat, praktis dan tidak memboroskan banyak waktu. Perjalanan masih panjang dan target kita adalah shelter setelah Pos 2. Tiba-tiba ketika sedang enak-enak tiduran terdengar suara anjing menggonggong. Saya kaget sekali, walaupun sumber suara itu berada di kejauhan. Kata Cak Heru itu adalah suara ajax atau anjing hutan. Anjing hutan ini biasa hidup bergerombol dan menyerang mangsa bergerombol pula. Suasana jadi mencekam, kami siap satu orang satu pohon sesuai instruksi Cak Heru. Sementara Tumber belum selesai solat sedangkan yang lain sudah siap ancang-ancang, -lebih-lebih saya. Tiba-tiba terdengar suara dari balik semak-semak. Ternyata itu Cak Nu dan Kempul yang memang sejak berangkat tadi terpisah dari rombongan.

Suara ajax sudah tak terdengar lagi, kami melanjutkan perjalanan. Tidak berapa lama kemudian sampai di Pos 2 atau biasa di sebut Pos Semar pada ketinggian 1452 mdpl. Hanya berhenti sejenak kami mulai berjalan lagi. Tumbuhan rasanya semakin rapat saja dan hujan turun sangat lebat. Perjalanan menjadi sangat lambat, karena kami harus membuka jalur yang tertutup. Baru berjalan sedikit sudah harus duduk lagi menunggu Cak Heru membuka jalur. Sambil melihat pemandangan sekitar, saya mulai merasakan kenyamanan dengan hutan yang masih perawan ini. Sudah lama saya tidak berada di tempat seperti ini. Mungkin ini yang dinamakan menyatu dengan alam. Hutan belantara yang menjadi surga bagi kehidupan liar. Dengan binatang dan tumbuhan yang hidup dengan keseimbangan ekosistemnya. Rasanya betah dan menyenangkan sekali berada di tempat ini. Berharap gunung ini tidak pernah tereksploitasi karena keserakahan manusia.

Matahari sudah hampir tenggelam, kami tiba di Pos 3 Pataga. Kami segera cepat-cepat mendirikan dua tenda karena hari sudah hampir gelap.

Untungnya hujan sudah berhenti, kita bisa membuat camp yang bagus, tenda berhadapan dengan teras flysheet diantaranya sebagai restorasi. Tidak lupa kami membuat tali jemuran di pinggiran shelter yang sempit ini. Sungguh nyaman camp kami malam ini. Setelah ganti pakaian dan perlengkapan nyaman masing-masing kami mulai masak. Oh iya, tidak lupa membersihkan darah kering sisa kecupan den baguse pacet. Tentu saja kopi menjadi starter untuk memulai semuanya. Tempe goreng dan lagi lagi mie instan menyusul untuk di lahap sebagai dinner malam ini.

raung3Malam ini saya sempat smsan, mengabarkan informasi kepada Cak Hilmi dan teman lain yang memantau perjalanan ini, bahkan sempat juga menelpon mbok wedok. Tidak seperti gunung kebanyakan Raung kaya akan sumber daya sinyal sampai puncaknya walaupun hilang timbul. Obrolan panjang dan radio kecil yang di bawa Cak Nu menambah ramainya malam itu. Gembes dan Codet yang perokok berat harus keluar atau mengungsi ke tenda tetangga.

Tenda kuning ini sudah saya wanti-wanti bukan sebagai smoking area. Tenda tetangga, yang tidak lain penghuninya adalah Cak Nu, Cak Heru dan Kempul sudah dari tadi mengepul seperti dapur warteg. Seolah seperti bahan bakar selama perjalanan, orang-orang ini ngudud dengan intensitas yang tinggi, apalagi saat berhenti seperti ini. Tidak tanggung-tanggung, rokok yang kita bawa dalam perjalanan ini, satu slop alias selusin bungkus rokok lokal dan masih ditambah beberapa rokok bermerek. Dari enam orang cowok hanya saya yang tidak merokok.

HARI KEDUA

Langit yang cerah dengan sinar surya menembus sela-sela dedaunan, menjadikan pagi yang hangat. Tidur kami semalam sangat lelap, suara auman macan di sebelah tenda kata Cak Nu sama sekali tak terdengar. Ya ampun, tidak tahu benar atau tidak yang jelas malam itu kami tidur di tengah hutan belantara. tak perlu di bahas, wajar kalau di hutan seperti ini ada warga pribumi yang melintas, yang penting kita tidak mengusiknya. Segera kami bergegas mempersiapkan perjalanan selanjutnya. Sarden dan sossis menjadi sarapan kita pagi ini.

Pakaian dan sepatu yang kita jemur semalam tidak begitu banyak bedanya, masih agak basah. Untungnya sepatu saya tidak basah, kan saya bawa sepatu dua. Sepatu tracking dan sepatu boots yang dipakai waktu hujan.

Kami baru mulai berjalan lagi pukul 09.30, super telat. Entah kenapa aktivitas pagi itu tak terasa memboroskan banyak waktu. Beban yang saya bawa rasanya bertambah berat, ini pasti karena tenda basah berembun yang jadi biangnya. Saya sengaja memakai sepatu boots di perjalanan hari ini untuk menghindari serangan pacet.

Sepatu dengan geitter tertutup yang saya pakai kemarin tidak mempan mencegah masuknya pacet. Memang belakangan ini jika saya dihisap pacet,bekas lukanya akan menjadi infeksi dan membengkak. Hari kedua ini target kita adalah Pos 4, merupakan pos terakhir sebelum summit attack. Kira-kira perlu waktu seharian untuk sampai sana. Mengingat start kita yang terlambat, pasti kita baru sampai ketika hari sudah gelap.

Medan perjalanan masih rapat di kelilingi rimbunnya tipe hutan hujan tropis khas hutan kathulistiwa. Bertambah satu lagi jenis tumbuhan berduri setelah penjalin, nanas hutan, rotan yaitu jeruk hutan. Bahkan ada area yang semuanya hanya tumbuh semak berduri ini. Setelah melewati pohon Cemoro Agung,

 

pohon pinus yang sangat besar, jalur mulai sedikit terbuka. Semakin banyak shelter dalam jarak yang tidak begitu jauh. Pos pataga 4 sampai 6 kita lewati dan juga pos petrok yang lokasinya juga berada di pataga 6. Oh iya, perlu di ketahui bahwa pos pos di jalur ini ada dua nama. Pos pataga yang memiliki Sembilan pos dan juga pos yang namanya diambil dari nama punakawan yang tentu saja memiliki empat pos. Pos dengan nama Gareng, Semar, Petrok, Bagong ini adalah nama yang dibuat oleh Regasspala.

Pukul 15.40 kami sampai di pos pataga 7, terdapat tandon air menyerupai kolam terbuat dari plastik. Tempatnya terbuka, karena pohon-pohon disekitarnya telah di tebang, ada bekas-bekas batang yang dipotong dengan gergaji. Dari pos ini pemandangan sangat indah, langit yang mulai menguning dan tampak dari kejauhan gunung Argopuro yang lebar menjulang tinggi.

Perjalanan sampai pos terakhir kata Cak Nu perlu waktu lebih dari dua jam, itu artinya benar perkiraan saya, kami akan berjalan menggunakan senter. Selain itu, jalur setelah ini adalah jalur terberat. Track melalui punggungan yang tipis dan tanjakan-tanjakan lutut bertemu perut(dengkul ketemu weteng). Benar saja baru beberapa langkah dari pos tadi, di balik pohon edelweise pertama tampak track dengan sudut yang bikin stamina mudah drop. Tanjakan yang semakin menggila membuat kami terpisah-pisah. Saya bertiga dengan Tumber dan Cak Heru berada di depan. Kami berhenti menunggu yang lain setelah hari sudah mulai gelap. Begitu sudah kumpul, kami mengeluarkan senter, kecuali Kempul yang memang sengaja tidak membawa senter. Untungnya saya membawa senter cadangan.


Mula-mula Kempul, disusul Codet dan Gembes. Masing-masing mulai tidak karuan jalan. Baru sedikit jalan udah berhenti dan berulang kali seperti itu. Parahnya lagi, setiap berhenti pasti tertidur. Saya dan Cak Nu berusaha memberikan semangat, carrier Kempul-pun akhirnya harus ditukar daypack yang di bawa Cak Heru. Sampai di Pos pataga 8, terjadi perdebatan, mereka yang sudah K.O maunya mendirikan camp di situ. Saya dan Cak Nu akhirnya bisa membujuk mereka.”mlaku alon-alon, nek kesel lungguho rapopo. Kurang sithik maneh”begitu kata saya.


Pukul 19.45 akhirnya kita sampai di Pos Bagong.

 

 

 Mereka tadi yang tertatih-tatih mendadak sehat. Seakan lupa, selama hampir empat jam jatuh bangun melewati punggungan bernama Gunung Wates ini. Langsung kami mendirikan tenda dengan gaya seperti camp malam sebelumnya. Kempul, Codet dan Tumber masak sedangkan yang lain mendirikan tenda. Begitu interior tenda sudah tertata rapi, kami semua masuk tenda, di luar terdengar seperti rintik-rintik hujan. Codet yang katanya tadi waktu jalan tak sudi malam ini di ajak begadang, langsung mendarat di pojok tenda dan langsung tidur dengan pose kayak udang.

Nasib apes juga dialaminya, HPnya tertinggal di tempat waktu kita mengeluarkan senter tadi. Untungnya dibungkus plastik dan dimasukkan dalam kotak pensil. Sementara saya dan Gembes mempersiapkan peralatan untuk summit attack besok.


Malam ini menu kami istimewa, sayur kacang dengan pete yang kita bawa. Tidak cukup hanya makan itu, kami juga makan mie instan sebagai makanan penutup. Kami memang balas dendam atas hilangnya keceriaan kita waktu berjalan menyusuri track terakhir tadi. Usai makan malam, Codet dan Gembes langsung tidur. Saya masih duduk-duduk dan Tumber bikin pudding untuk bekal besok. Sementara tenda sebelah seperti biasa, berasap. Pukul 23.00 kami semua tidur, rasanya saya sudah tidak sabar lagi ingin menginjak puncak.

 

 

SUMMIT ATTACK


Pagi sekali saya sudah bangun, yang lain tampaknya masih males-malesan ngulet sana sini. Pagi itu saya sendirian mencoba berjalan ke atas, ingin melihat bagaimana bentuk rupa bumi di atas sana. Namun sampai tengah jalan tidak ketemu jalurnya, akhirnya saya kembali. Pagi itu kami tidak masak, hanya minum sereal dan kopi. Tampaknya semua sudah siap. Cak Heru dengan kernmantel yang di kalungkan menyamping. Saya mamakai daypack berisi makanan dan alat metal. Yang lainnya masing-masing siap dengan pakaian tempurnya.

 


Pukul 07.30 kami mulai melangkah. Hanya beberapa menit batas vegetasi telah kami lewati. Sekarang yang ada di hadapan kita hanya batu dan batu. Tampak dari kejauhan puncak punggungan dengan tiang bendera, sudah pasti itu bukan puncak sejati. Itulah yang dinamakan puncak kalibaru atau puncak bendera. Dari puncak bendera inilah sirkuit yang akan kita lewati kelihatan. Di depan kami tampak punggungan tipis atau igir-igir yang berujung pada puncak punggungan yang bentuknya runcing bernama puncak tujuh belas. Setelah itu sudah tak tampak lagi bagaimana bentuk jalan yang akan kita lewati. Sementara tempat finish kita juga tidak kelihatan dari sini, tertutup oleh batuan-batuan runcing berdiri yang dinamakan tusuk gigi. Puncak sejati berada di sebelah kanan batuan yang sebenarnya sangat besar itu.

 


Entah takjub entah ngeri, itulah yang saya rasakan melihat jalur yang akan dilewati. Memang pemandangan sangat menakjubkan, tapi disisi lain, saya harus melewati itu dengan resiko yang tak tidak enteng. Menghela nafas panjang dan berdoa, akhirnya mampu menghapus ketegangan.

 

 

Saya pun mulai melangkah. Tidak lupa sebelum itu kami membuat dokumentasi berupa video. Cak Nu yang sudah enam kali ke sini sudah berjalan jauh di depan.

Igir-igir pertama telah kami lewati dan berujung pada tebing sempit. Tampak di situ terpasang pasak untuk memasang tali sebagai pengaman. Kami harus melipir sebelah kanan tebing itu dan sebaiknya memakai pengaman.

 

 

Cak Nu sudah duluan melewati sisi tebing itu tanpa pengaman. Seolah memberikan contoh bagaimana melewati tebing itu. Si Codet akhirnya juga ikut-ikutan nekat melewati jalan itu tanpa pengaman dan berhasil. Tampaknya kita semua sepakat tanpa kata sepakat untuk tidak memakai pengaman. Gembes-pun juga akhirnya melenggang dengan mulus melewati sisi tebing itu. Sekarang giliran saya, dan inilah saya merasakan rock climbing yangsebenarnya. Mencengkram batu sekuat tenaga dan semakin kuat ketika sekilas saya melihat curamnya jurang di ujung tumit saya. kudu ekstra hati-hati, dan jangan sampai salah memilih point untuk berpijak. Terpeleset sedikit saja entah jadi apa di ujung jurang bawah sana. Memang saya sudah sampai dan aman, tapi justru saya semakin tegang melihat Tumber sedang melewati jalan itu. Huuuf, akhirnya kenekatan kita waktu itu tidak beresiko fatal. Sekarang di depan adalah puncak tujuh belas.

 

 

Untuk melewati ini bisa melalui puncaknya dan juga bisa melipir sebelah kanan. Pokoknya perjalanan ke puncak ini serba sebelah kanan. Jangan sampai terlalu ke keri, sebelah kiri adalah terjun bebas. Kami semua melipir untuk melalui puncak tujuh belas ini.

 

Memang sangat curam, namun pijakan kami tidak sesempit yang tadi. Hanya saja kita kudu bisa memilih batu mana yang masih kuat. Mayoritas batuan di sini mudah lepas dan longsor.

Jangan sampai menghadap berlawanan dengan tebing. Usahakan badan condong ke arah tebing. Berikutnya adalah igir-igir lagi dengan nama Sirothol mustakim atau nicknamenya sirot. Igir-igir yang lebih tipis ini bagaikan jembatan-jembatan bambu di permainan outbond. Di ujung igir-igir ini kita harus climbing lagi, tapi yang benar harusnya raffeling. Pasak-pasak juga terpasang di sini sebagai anchor untuk tekhnik raffeling menuruni tebing. Seakan lupa menggunakan alat, mental kami terlanjur larut dalam asiknya menghadapi tantangan-tantangan maut, atau lebih tepatnya kami ini sedang nekat.

 

 

Halang rintang di ujung sirot telah dilewati, kini kami tinggal berjalan biasa menyusuri batuan menuju ke arah tusuk gigi. Saya berjalan dengan cepat, sesekali batuan yang saya pijak longsor. Mirip dengan track setelah Pasar Bubrah saat menuju puncak gunung Merapi. Jalurnya yang mana tak begitu tampak. Berjalan sembarang saja mana yang enak asal menuju ke arah tusuk gigi. Saya berada di depan, yang lain di belakang masih jauh dan kelihatan kecil sekali. Sampai di tusuk gigi raksasa itu, saya mulai kebingungan.

 

Sela-sela mana yang harus saya lewati untuk menuju ke kanan. Sempat beberapa kali saya salah jalan dan berhadapan dengan jurang di sebelah kiri. Akhirnya saya turun sedikit dan banting setir kekanan, barulah saya menemukan bekas-bekas batu rapuh yang dipijak. Beberapa besi pasak yang tak terpasang juga tergeletak begitu saja di sekitar situ.

 

 

SUATU HARI NANTI SAYA AKAN KE SINI LAGI


Perjalanan turun melalui jalur dan dengan cara yang sama seperti ketika berangkat, tanpa pengaman. Kami lebih hati-hati karena jarak pandang yang terbatas oleh kabut. Saya sempat salah jalur ketika melipir di dinding puncak tujuh belas. Terjebak di antara jurang, dan akhirnya saya berhenti menunggu di situ meminta instruksi Cak Nu.

 


Akhirnya saya bisa kembali ke jalur yang benar. Tadi saya keliru satu meter ke bawah dari jalurnya karena memang lekukan untuk pijakannya hampir sama. Kemudian setelah itu lagi-lagi berhadapan dengan tebing ekstrim sebelum igir-igir terakhir. Tapi akhirnya selamatlah kami semua dan telah sampai di puncak bendera lagi. Tampak sarung tangan yang di pakai Tumber sobek tergores batu-batu yang tajam.

 

Sesampainya di camp Pos Bagong, hujan gerimis turun. Kami memutuskan untuk turun besok. Dari tengah hari sampai besok pagi nggak ada kerjaan, hanya tiduran leyeh-leyeh di dalam tenda. Kebetulan hari ini adalah pengumuman kelulusan kami berempat dan kami mendapatkan info via sms bahwa kami semua lulus. Alhamdulillah, Kamis yang jos dengan puncak Raung dan kelulusan.


Sebenarnya persediaan air kami sudah menipis, beruntung dari tadi gerimis jadi kami bisa menampung air walaupun tidak banyak. Tak terasa hari sudah malam, ini pertama kali bisa melihat lampu kota. Pemandangan bawah sangat indah, Cak Caknya bersahutan menunjuk lokasi yang mereka kenal. Itu Kalibaru, stasiun, pasar dan lain lain seakan sudah hafal betul. Malam ini saya yang masak, menunya adalah pecel. Codet dan Gembes tidur sejak siang tadi karena mengeluh kepalanya pusing disusul Tumber yang punya keluhan sama. Usai makan kami tidur, masuk di kantong tidur masing-masing. Dari tenda tetangga katanya merasakan ada gempa. Mungkin itu gempa karena aktivitas vulkanik karena beberapa minggu sebelumnya gunung berapi ini berstatus waspada.

 


HARI KEEMPAT KEMBALI KE PERADABAN


Di pagi yang basah ini kami harus turun. Kami menargetkan hari ini juga sampai bawah. Sebelum turun kami mengecek semua barang, jangan sampai ada yang tertinggal, termasuk sampah. Selain itu kami juga sempat menanam beberapa batang Lamtoroagung di sekeliling shelter ini. Tepat pukul delapan kami mulai jalan turun. Pohon dan rerumputan masih basah karenaembun dan gerimis semalam. Beban sudah banyak berkurang dan kami juga tidak perlu lagi membuka semak yang menutupi jalur. Jadi kami bisa turun dengan cepat. Lariiii, meluncur, dan merosot … Kalau kami naik dengan santun kini kami turun dengan beringas. Beberapa shelter dan Pos kami lalui satu per satu. Hanya dalam empat jam kami sudah sampai di Pos 2. Padahal kalau naik mungkin bisa satu setengah hari.

Sejam kemudian saya lebih dulu sampai di kebun kopi, jauh meninggalkan yang lain. Mereka mungkin masih ngobrol dengan pendaki lain yang bertemu di hutan tadi. Mereka berdelapan dari Mapala Universitas Jember. Di Pos Pondok Sunarya saya menunggu yang lain, namun begitu kumpul lagi, saya jalan lagi sendirian. Sebenarnya saya sudah tak sabar ingin sampai di sungai besar di tengah kebun kopi. Sesampainya di tempat itu, langsung saya nyebur hanya memakai celana.

 

 

 Badan dan muka yang tadinya panas kini jadi dingin, segar rasanya. Namun luka-luka gores akibat terkena duri jadi terasa perih, tak terhitung jumlahnya. Tumber yang melihat saya juga ikut-ikutan nyebur, diikuti yang lain. Usai mandi, setelah berjalan beberapa puluh meter, ternyata Cak Hilmi sudah menunggu bersama seorang temannya. Kami telah di jemput agar cepat berjumpa lagi dengan dataran rendah. Satu persatu kami di antar kembali ke base camp Regass. Akhirnya usai sudah perjalanan panjang Raung ini. Kami telah kembali ke hiruk pikuknya peradaban.


Sore ini kami langsung membersihkan diri, mandi di pancuran mata air yang tak jauh dari rumah Cak Hilmi. Setelah itu kami ngobrol dan evaluasi di temani kopi yang bener-bener serius kopi dan sukun goreng krenyes-krenyes di halaman rumah. Badan ini rasanya segar kembali, tidak ada luka dan cedera yang berarti. Saya dan Codet besok masih harus lanjut ke gunung berikutnya, Arjuno Welirang. Usai makan malam dengan kangkung, lauk tempe dan sambel kosek, kami berdua bersiap melanjutkan perjalanan. Sementara Gembes dan Tumber pulang ke Magelang besok pagi, malam ini masih menginap di Kalibaru. Pukul sepuluh saya dan Codet menuju Surabaya naik Bis. Sampai jumpa lagi Raung, Kalibaru, Regass dan Cak Hilmi sekeluarga, maaf kami banyak merepotkan.

Oleh Wildan Codet