Salam Speleo!
Gua Cidomba merupakan Gua yang terdiri dari 4 pitch, dimana untuk mencapai dasarnya kita perlu turun secara vertical sebanyak 3 kali. Vertical pertama kedalamannya kurang lebih 20 Meter, Vertical kedua 15 Meter, Ketiga 10 Meter. Teknik yang kami gunakan adalah SRT atau Single Rope Technique.
Tanggal 8-9 Februari kemarin mungkin menjadi salah satu hari yang akan saya ingat selalu dalam hidup saya. Tapi mungkin saya terlalu berlebihan jika saya akan mengingat tanggal itu sampai hari tua, seperti yang kita tahu, manusia ialah tempatnya lupa,saya pun manusia hehehe. Mungkin bukan tanggalnya, tapi peristiwa yang terjadi dihari itu. Bukan peristiwa seperti remaja lainnya -Menembak pujaan hati dan diterima- tapi semacam itu lah rasanya. Saya rasa ada perasaan cinta baru yang tumbuh. Cinta pada alam Tuhan. Gua.
2 minggu sebelum peristiwa itu, Uple mengontakku via Whatsapp “Pan, ini rencananya habis UAS gua sama Ekar dan Tansi mau ke Gua Cidomba. Mau ikut?”. Saya bingung “Wah dapat dari mana dia kontak ku?”. Tapi itu mungkin bukan pertanyaan yang penting bagiku untuk dijawab oleh siapapun, toh di era kepemimpinan Bapak Jokowi sekarang ini keadaan teknologi sudah canggih. Pertanyaan yang harus saya dapatkan jawabannya adalah “Seram enggak ya?” . Tadinya aku ingin mendapatkan jawabannya langsung dari si Uple, maklum dia sudah pernah melakukan kegiatan ini sebelumnya, tapi segera saya hapus pertanyaan itu dalam kolom balasan. Iya lah! Pertanyaan seperti itu hanya akan membuat suatu pandangan bagi Uple bahwa saya adalah seorang pengecut. Saya tidak mau Uple berpandangan seperti itu terhadap saya, Saya tidak mau semua orang berpandangan bahwa saya adalah seorang penakut, seorang pengecut!
“Oke Ple, Gua ikut.” Balasan itu yang saya kirim ke Uple. Saya pikir kalimat yang saya gunakan sudah sangat padat,jelas,tegas,dan yang paling penting saya terlihat berani. Aslinya saya pemberani! Saya harus berani!
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan, dan tidak lupa belajar, karena kami sedang menjalani UAS. “Mencintai alam tanpa melupakan akademis”. Menurutku keren. Oh, saya sampai lupa berkenalan. Saya Gopan. Tentu saja itu bukan nama asli ku. Gopan adalah nama lapangan, seorang Mapala pasti sudah familiar dengan budaya seperti ini, memberi nama yang khas, terkadang juga unik. Nama asli saya Satria Nala. Saya mahasiswa baru semester pertama, yang sedang menjalani proses DIKLAT STAPALA 2020. Saya kenalkan juga kepada kalian bahwa Uple, Ekar, dan Tansi adalah anggota Stapala. Dia seniorku.
Setelah hari hari dipenuhi dengan latihan, belajar, dan ujian. Tiba lah hari itu, hari dimana peristiwa itu menjadi pengalaman yang tidak akan saya lupakan, hari dimana kegelapan dan keheningan adalah mayoritas.
Ekar sudah membuat Manajemen Perjalanan dan kami semua ingin sekali melakukan semuanya sesuai rencana. Tapi manusia hanyalah manusia. Ralat, Tapi kami hanyalah kami. Bukan Petani atau Nelayan yang lumayan tau perkiraan cuaca tanpa melihat berita di stasiun TV sekalipun. Tiba lah hujan, deras, yang menghambat perjalanan kami yang harusnya berangkat menuju lokasi Gua Cidomba pagi hari. Lokasi Gua Cidomba ada di Desa Tajur, Bogor, Jawa Barat. Akhirnya setelah menunggu hujan reda, kami berangkat. Wooohooo!!!
Setelah menempuh perjalanan dari Bintaro – Tajur, tibalah kami, tepatnya jam 16.30 sore disuatu rumah warga, Pak Eman namanya. Aku curiga itu bukan nama aslinya, tapi setelah saya melakukan penelitian seadanya dengan metode menanyakan langsung ke yang bersangkutan, ternyata Eman adalah nama aslinya. “Pak punten mau nanya, Eman itu nama asli atau nama lapangan pak?”. “Nama lapangan itu naon?”. Mendengar jawaban dan melihat ekspresi Pak Eman yang kebingungan tersebutlah saya jadi berani mengambil kesimpulan bahwa Eman adalah nama asli Bapak tersebut.
“Pak, tolong antar kami ke lokasi mulut Gua Cidomba boleh pak?” Tanya Uple sambil merokok. Uple memang merokok terus. “Oh iya A’, boleh nanti saya antar.” Jawab Pak Eman sambil merokok juga. Setelah beres beres, kami memakai sepatu boots kami, menggendong tas kerir kami yang sangat berat, menuju lokasi mulut Gua. Hari sudah mulai gelap,jalanan licin, membuat Uple dan Tansi sering sekali kepleset. Disini menarik, Ekar mengambil peran menolong Tansi dan Uple ketika jatuh. Pak Eman mengambil peran dengan cara menasehati nya setiap kali mereka jatuh “Pelan pelan, awas licin”. Sedangkan peranku sangat simpel, saya hanya bagian menertawainya. HAHAHA.
“Nah itu lokasi mulut Gua nya. Bapak tinggal ya. Hati-hati.”
Tiba-lah kami. Saya terkagum. Besar, sunyi, gelap, menakutkan. Tapi tentu saya adalah seorang pemberani. Kalau ada rasa takut melintas dibenakku sedikit saja, harus kutendang perasaan itu keluar angkasa. Rasa takut tidak boleh dibiarkan terlalu lama hinggap.
Kami bergegas meng-unpack seluruh bawaan kami. Tansi dan saya mendirikan tenda. Ekar dan Uple merapihkan dan menyusun alat alat. Setelah selesai, Uple dan Ekar melihat lihat dan membuat perhitungan untuk melakukan proses “Ridging”. Uple sebagai ridging-man, sedangkan Ekar sebagai Assistant Ridging. Tapi setelah melakukan berbagai pertimbangan, yang seharusnya dalam MANPER kami akan melakukan penelusuran malam hari, batal, karena titik titik ridging yang sangat terbatas karena posisi sudah gelap. Yaaaa walaupun kami sudah membawa peralatan penerangan yang cukup, tapi Uple dan Ekar memutuskan untuk melakukannya dipagi hari. “Malam ini, kita enggak jadi turun. Kita ngopi ngopi dulu, lalu istirahat.” Teriak Uple. Tansi langsung sumringah, begitu pula saya. Ya, betul Ple. Lebih baik dilakukan ketika keadaan sudah mulai terang.
Langsung saja kami mengeluarkan logistik, menyalakan kompor, memasak. Suasana sangat hening, hanya ada suara kami, suara jangkrik yang sedang bersenggama, suara daun bambu yang bergesekan. Kami makan, ngopi, membicarakan proses penelusuran esok, dan yang terakhir adalah bagian yang sangat saya suka. Deeptalk.
“Takdirnya, diremang remang kegirangan mala mini, kita diperjumpakan pada tawa tawa”
“Oyyyy bangunnnnn!” Teriak Tansi yang membangunkan kami semua seketika. Mungkin dia sangat tidak sabar untuk melakukan penelusuran Gua kali ini. Maklum, seperti saya, ini adalah pengalaman pertamanya juga dalam melakukan kegiatan penelusuran Gua. Kami bergegas masak dan sarapan. Tidak lupa ngopi dan ngudud, karena kata Uple “Wes mangan ora ngudud yo paru paru ora smile”. Terserahlah.
Setelah sarapan, kami salin dan memakai alat-alat. Kami pergi ke bibir mulut Gua. Uple dan Ekar menjalankan tugasnya. Mereka terlihat sangat terlatih. Membuat saya sedikit merasa lega karena didampingi oleh mereka. “Ini backup, nah itu anchor utamanya.” Jelas Ekar kepada Tansi dan saya. “Oh.”
Setelah Ekar dan Uple selesai memasang anchor, kami berdoa, semoga penelusuran kali ini lancar dan memberikan kami pelajaran baru.
“Stapala, Djaya!”
Uple menjadi orang yang turun pertama dalam penelusuran kali ini. Dia mulai membebankan tubuhnya pada tali, mulai mempercayakan semuanya pada alat, dan mulai komat kamit, ia berdoa meminta perlindungan setelah sudah ber-ikhtiar sesuai prosedur. “Free!” Teriak Uple dari bawah, menandakan ia sudah mencapai dasar. Selanjutnya Tansi. Lalu saya. Ekar menjadi operator di atas. Ekar melakukan tugas Check and Re-check. “Oke siap pan. Turun. Hati-hati.” Saya mulai turun, begini rasanya, beda dari yang saya lakukan saat latihan. Menegangkan! Mengerikan! Menakutkan! Saya tak bisa menendang rasa takut ini, tapi saya sudah terlanjur turun. Akhirnya saya sampai dasar. Takjub. “Begini toh.” Sambil menganga kagum. Tak lama kemudian Ekar sudah berhasil menyusul kami. Lalu penelusuran dimulai.
Celah-celah sempit, lubang-lubang kecil, aliran air, stalaktik, stalakmit, hewan hewan. Semua baru pertama kali ini saya lihat. Keren! Uple dan Ekar memasang anchor lagi. Ya, Gua Cidomba ini memiliki 4 Pitch yang membutuhkan 3 kali memasang anchor dan turun secara vertical. Waktu terasa cepat, banyak keindahan yang saya lihat. Kode Etik penelusuran Gua pun kami taati, patuh.
“Keren!” Ucap Tansi penuh ketakjuban.
Setelah kami mencapai dasar Gua, kami mulai naik lagi. Posisi penelusuran tetap sama. Uple sebagai orang pertama dan Ekar sebagai orang terakhir. Tansi dan aku ditengah, bebas bertukar posisi. Sebelum kami naik keatas, sekali lagi kami melibatkan Tuhan untuk meminta perlindungan. Uple naik, ia baik baik saja. Lalu Tansi. Dan tibalah giliran saya. Ternyata proses ascending lebih menyeramkan dari pada descending!!! Lalu Ekar pun berhasil naik. Kami berhasil. Penelusuran kali ini berhasil. Lalu kami melakukan cleaning. Rencananya kami langsung ingin mencuci alat di sungai besar didaerah tajur. Tapi hari sudah sore.
Kami kembali kerumah Pak Eman. Dia sudah menunggu kami dan menyediakan air putih. Segar! Kami numpang mandi dirumah Pak Eman. Selepas Magrib kami pamit dan berterimakasih kepada Pak Eman yang banyak membantu kami. Semoga Pak Eman dan Bu Eman serta anaknya mendapat perlindungan, rezeki yang berlimpah dan halal dari Tuhan ya Pak! Semoga Sentosa selalu bersama dengan kesehatan kalian selalu.
Dimotor, diperjalanan pulang, saya merenung. Perjalanan kali ini memberikan saya banyak sekali pelajaran. Karena sejatinya bertualang kedalam alam Tuhan punya hakikat sejati yang lebih mendalam, keindahan yang saya lihat hanyalah bonus.
Diatas mungkin sedang banyak yang saling sikut-sikutan. Untuk banyak hal. Cinta kah, Harta kah, atau mungkin area mengamen yang dibagi oleh preman-preman itu? Sedangkan dibawah, tempat dimana ketenangan dan kegelapan adalah mayoritas, Cinta jauh tumbuh lebih memesona, Damai jauh berkembang lebih cahaya.
#Caving
Oleh: Ramadhan “Uple” Irawan 1292/SPA/2019
Recent Comments