Sudah lama sekali saya tidak ikut menyusuri gua. Jadi bisa ditebak, ketika anak-anak divisi Susur Gua mengajak untuk ikut, saya langsung saja mengiyakan. Perjalanan hemat, cukup mengisi bensin sepuluh ribu saja, bisa menusuri gua semalaman.

Gua Cikenceng terletak di daerah Tajur, Bogor. Daerah yang terdapat pabrik semen Cibinong ini memang surganya para caver, peneliti, pecinta alam, penikmat alam, dan orang-orang yang gemar eksplorasi gua. Di Tajur, terdapat puluhan gua yang memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Cikenceng adalah salah satu gua horisontal; ini juga sebabnya saya ikut. Karena menyusuri gua horisontal biasanya tidak membawa kernmantel(tali) dan alat logam yang berat-berat, yang sangat malas untuk membawa, memasang, melepas, dan membersihkannya dari lumpur.

Kami berdelapan: Udik, Ucup, Sebastian (ketiganya sudah sangat sering dan berpengalaman masuk gua), Edel, Semut, Uka, Conan, dan saya, dengan Conan sebagai koordinator lapangannya. Ucup sudah pernah menyusuri Gua Cikenceng sebelumnya, dia memilih untuk tidak masuk dan menjaga tenda dan logistik di luar. Jadi yang masuk ke gua ketujuh orang lainnya. Kami mulai mengeksplor selepas sholat Isya.

Kami bertujuh melakukan pemetaan sederhana; sekedar praktik pemetaan gua. Hanyalah lima belas stasiun yang kami ukur. Stasiun adalah titik di mana karakter lorong gua berubah, misalkan dari lorong lurus kemudian tiba-tiba membelok. Nah, di titik inilah kami harus mengukur segala jenis jarak dan sudut yang diperlukan untuk menggambar peta gua nantinya.

Pelajaran penting, mengendarai sepeda motor di jalan silakan saja tidak memakai helm. Namun di gua, helm adalah barang wajib, kalau tidak mau menanggung resiko kepala lecet, atau bocor karena terantuk atap gua dan terkena batu-batu yang mungkin saja jatuh dan menimpa kepala.

Pintu masuk Cikenceng sangat sempit, hanya cukup di lewati satu orang. Untuk masuknya pun harus merangkak. Di beberapa tempatpun harus tetap merangkak untuk melangkah terus. Namun, di sela-sela celah sempit biaasnya terdapat lorong luas atau chamber, yaitu ruangan yang bisa diisi oleh beberapa orang dengan posisi berdiri.

Beberapa lubang sempit malah mengejutkan kami. Seperti sebuah lubang sempit beberapa meter dari pintu masuk. Lubangnya kecil saja dan tergenang air. Memasukinya bisa dipastikan akan basah sampai ke dada. Namun, ternyata di dalamnya terdapat lorong panjang bercabang-cabang yang bisa dilalui dengan merangkak, berjongkok, dan berdiri. Di akhir lorong terdapat chamber besar yang bisa diisi puluhan orang.

Beberapa ornamen gua kami temui. . Beberapa yang saya ambil fotonya seperti stalaktit, stalakmit, colom, flor stone, soda straw, gordyn dan ornamen lain yang saya tidak tahu namanya. Di tempat kami bergambar bersama malah ada air terjun kecil dengan kolam yang terisi air bening, takjub saja melihatnya. Fauna yang kami temui; khas penghuni gua: kalilawar, jangkrik dengan kedua antena sepanjang beberapa kali panjang tubuhnya, udang dan kalajengking.

Kami masuk tepat jam 8.10 malam dan keluar jam 12.30. Setelah makan dan minum minuman hangat, kami segera beres-beres; membongkar tenda dan packing alat-alat. Jam tiga pagi kami segera bertolak ke kampus. Karena jalan sepi saya terus tancap gas saja; juga untuk mengusir rasa kantuk yang sangat hebat. Beberapa menit sebelum azan shubuh, kami sudah tiba di kampus, menempuh satu setengah jam saja dari waktu normal dua setengah jam.

Badan terasa capai. Namun keunikan pemadangan di dalam bumi tentulah mampu menggantikannya. Saya sering kali memikirkan kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua, bila sedang berada dalam gua. Ketiganya berdoa kepada Allah, agar batu yang menyumbat mulut gua bergeser. Orang pertama yang memelihara seekor kambing upah pelayannya, hingga berkembang menjadi beratus-ratus ekor ternak. Pelayan yang dulu menghilang kemudian datang dan orang tadi memberikan semua ternak hasil dari seekor kambing tadi kepada pelayan itu. Orang kedua yang mampu menolak ajakan seorang wanita untuk melakukan hubungan layaknya suami istri, sebagai balas jasa karena telah berbuat baik kepada wanita itu. Orang ketiga yang berbuat baik dan merawat sepenuh hati orang tuanya yang telah tua renta. Sungguh kebaikan-kebaikan luar biasa. Dan batu yang menutupi gua bergeser sedikit demi sedikit memberi jalan.

Seandainya saya (tentu semoga saja tidak) yang terjebak, apalah kebaikan saya yang bisa saya adukan kepada Tuhan. Rasa-rasanya susah sekali menemukannya. Memang tidak ada yang bisa memastikan kisah itu benar-benar terjadi atau tidak. Namun, hikmahnya begitu mendalam. Manusia mengingat Tuhan ketika berada dalam kondisi terdesak, dan berdoa memohon pertolongannya. Bagi sebagian orang, hikmahnya mungkin sebagai ajakan untuk memiliki kebaikan unggulan. Apa kebaikan dan amalan unggulan yang bisa ditunjukkan kepada Tuhan.

M N Juna Putra

810/SPA/2007