aziz makhfur teplokSaya tergelitik setelah melihat recent actifity di newsfeed “muka buku” pagi ini. Bang Indra Jabrix, salah seorang sesepuh STAPALA memposting sebuah ucapan selamat ulang tahun untuk sahabat, kawan karib, yang juga senior kita STAPALA, alm Bang Joko. Diikuti dengan sundulan komentar terhadap beberapa foto yang berisi tulisan Bang Joko di album Diary STAPALA.

Ada beberapa hal yang membuat saya kembali tergelitik mengingat kebetulan foto diary tersebut saya sendiri yang menscan dan mengunggahnya ketiga program digitalisasi Diary STAPALA berkejaran dengan waktu deadline menjelang RAT 2011. Dan ada juga sekelumit cerita tentang Bang Joko (yang ketika proses digitalisasi itu) telah meninggal dunia. Setidaknya ada satu-dua hal yang mungkin ingin saya sampaikan melalui tulisan ini, sebagai pelepas kerinduan saya akan posko STAPALA dan segala hiruk pikuknya.

Tentang Alm. Bang Joko

Tidak banyak yang tahu, ketika proses pendigitalisasian itu, ada sebuah kejadian kebetulan (baca: keanehan) diluar nalar, yang mungkin memang hanya sebuah kebetulan. Pada waktu itu, proses digitalisasi disepakati menggunakan dua sarana, yaitu mesin scanner (sekalugus mesin printer) dan juga camera digital dengan resolusi tinggi agar kualitas tetap terjaga dan tetap dapat terbaca. Banyak diantara temen-temen yang memilih menggunakan kamera, karena selain cepat, juga mudah pengoperasiannya. Jika menggunakan mesin scanner, sebuah diary membutuhkan waktu lebih dari empat hingga lima jam untuk terselesaikan, itupun dengan catatan seharian tidak beranjak dari depan computer dan mesin scan. Saya sendiri, yang ketika itu masih berstatus pengangguran, lebih memilih menggukan scanner. Selain kualitasnya bagus, menyenangkan juga sambil iseng-iseng baca diary lama yang sedang kita scan tersebut.

Dimana letak keanehannya? Well, pada suatu ketika, scanner tersebut tiba-tiba mencetak sendiri sebuah lembaran diary (saya lupa diary nomor berapa) yang sedang saya scan, yang setelah dibaca ternyata sebuah tulisan tangan dari bang Joko pada tahun 91 atau 93 tepatnya saya lupa. Isi tulisan itu lebih aneh lagi. Pada waktu itu bang Joko menulis bahwa dia merasa hampir mati dan merasa tidak kuat dengan beban yang ia alami, beliau merasa waktunya didunia tak lama lagi. Kemudian seakan beliau juga “berwasiat” kepada kawan-kawannya agar ketika beliau benar-benar mati, untuk menyumbangkan baju flannel miliknya serta memberikan beras kepada ibu kostnya. (isi pesannya apa lagi saya lupa). Wah, jan serem tenan tho.

Mungkin ini hanyalah kebetulan. Beberapa orang yang saya ingat ada di posko pada waktu itu, diantaranya adalah jupret, menganggap mungkin kebetulan kepencet tombol printnya. Ya, mungkin saja, mungkin saja memang kebetulan dan secara tidak sengaja. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, sebuah kebetulan yang diluar nalar. (Teks diary dan hasil scan, termasuk tulisan saya di diary pada saat kejadian itu, masih tersimpan di posko STAPALA). Saya tidak ingin berandai-andai dengan kemungkinan lain, (walaupun bisa saja ada kemungkinan lain). Disini, saya hanya berbagi sedikit cerita, yang membuat saya jadi takut untuk tidak menyampaikannya. Hehehe..

Tentang Diary STAPALA

Well, diary-diary lama itu, merupakan saksi yang bisa bicara tentang sejarah STAPALA dari masa ke masa. Saya masih ingat, diary STAPALA edisi perdana (kalo tidak salah di inisiatori oleh bang Assoe) berupa buku tulis buffalo (yang sekarang berwarna) kuning yang dibagikan kepada setiap mahasiswa. Dari sana akan banyak dijumpai tulisan-tulisan yang berupa ide dan gagasan-gagasan besar tentang STAPALA kedepan, tantang keseharian, tentang curhatan, tentang adu truff dan segala macam hiruk pikuk kehidupan posko STAPALA pada jaman dahulu. Hal itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, dimana setiap generasi akan terlihat mendominasi nama-nama dan nomor-nomor yang berbeda. 100an, 300an, 500an, 700an, 900an, dan mungkin sekarang digit 1000an akan mulai mendominasi edisi terbaru diary STAPALA (yang terakhir sampai edisi ke berapa saya kurang tahu pasti).

Ya, diary STAPALA adalah aset yang tak ternilai harganya. Saya menyadari betapa berartinya ketika di akhir periode kepemimpinan Jupret, ditunjuk menjadi penanggung jawab ad interim menggantikan penanggung jawab lama yang entah mengapa tak kunjung menyelesaikan kerjanya. Digitalisasi adalah hal yang mudah dilakukan sebenarnya, sambil kita bersantai di posko, waktu satu tahun kepengurusan adalah waktu yang laebih dari cukup untuk menscan sekitar 130 diary yang ada hingga saat itu. Tapi mungkin fokus dan perhatian anak-anak tengah fokus mempersiapkan Ekspedisi Elbrus yang merupakan salah satu Amanat RAT disamping Digitalisasi arsip dan Diary STAPALA, sehingga digitalisasi menjadi sedikit terlupakan. Hingga akhirnya dua bulan terakhir menjelang RAT 2011 harus berkejaran menyelesaikan satu persatu diary untuk didigitalisasi. Dalam hal ini saya sangat salut, dan memberikan apresiasi besar kepada temen-temen STAPALA. Nggak ada yang nggak bisa dilakukan oleh anak STAPALA. Elbrus contohnya, mengumpulkan dana ratusan juta dalam waktu singkat nyatanya bisa juga berangkat. Untuk membangun Dinding Panjat yang puluhan juta juga nyatanya sekarang juga bisa tegak berdiri. Apalagi hanya mendigitalisasi? J

Adalah menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri ketika diary diary itu telah selesai terdigitalisasi. Sekarang, bagaimana caranya agar diary-diary itu dapat diakses dan dinikmati oleh seluruh anggota STAPALA tanpa harus jauh-jauh datang ke posko. Karena diary adalah catatan sejarah dari masa-ke masa. Karena diary adalah catatan kenangan dari setiap anggotanya. Karena diary melahirkan ide-ide besar seperti apa yang ditulis oleh bang Joko tentang Badan Diklat dan Badan Ekspedisi yang kita semua baru tahu sejarahnya sekarang ini. Karena diary adalah kumpulan pengetahuan kepencinta alaman, catatan perjalanan maupun pendakian yang dilakukan oleh kita-kita sendiri, oleh anggota STAPALA dari masa ke masa. Karena diary adalah tempat pelampiasan, umpatan, cacian, ekspresi kegembiraan, hingga ulah iseng gambar menggambar dari kelas expert hingga kelas ilustrasi asal-asalan. Karena diary adalah suka duka dan nafas kehidupan sehari-hari. Diary adalah catatan kehidupan STAPALA.

Bila diibaratkan ia adalah prasasti. Yang bila hanya disimpan bentuk fisiknya, akan lekang oleh zaman, yang akan hilang dan peretel bila posko akhirnya harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang akan digerogoti virus bila file hasil digitalisasi itu hanya disimpan dalam hardisk komputer posko yang faktanya tidak cukup “aman” karena penggunaan banyak orang dan berbagai kepentingan. So, kembali lagi pada sebuah harapan tadi, semoga diary-diary dari masa ke masa ini bisa dinikmati dan diakses oleh seluruh anggota STAPALA yang tersebar di seluruh nusantara, atau bahkan yang berada di luar negeri, darimanapun mereka berada. Bagaimana caranya, ada baiknya kita fikirkan bersama.

*ditulis di Balikpapan. Ketika dilanda kerinduan akan posko STAPALA, ketika merindukan corat-coret dan membaca halaman-demi halaman diary seperti semasa di posko dulu.
“Azhyz Maghfur” Teplok  940/SPA/2011.