Rekan-rekan Stapala, berikut ini saya lampirkan salah satu catatan perjalanan dari senior-senior tahun 1990-an. Perjalanan yang luar biasa dan sedikit nekat. Terima kasih tuk Palpi 901 yang rela mengetik ulang laporan ini. Mudah-mudahan catatan perjalanan senior yang lainnya bisa segera menyusul didigitalisasi. Terutama untuk perjalanan gunung es nya. Selamat menikmati dan bernostalgia.-Dosko, 802/2006-

Pukul 09.00 dengan diawali dengan doa dan tos STAPALA berangkat dari posko tercinta G.106. tim yang terdiri dari Didik Catyono (346/SPA/92), Wasis Pramono (376/SPA/93), Koko Riyantoko Nugroho (382/SPA/93), Wahyu Purwanto                 (361/SPA/92) mampir ke Bintaro Plaza untuk menambah cash dan membeli logistic yang kurang. Tim menggunakan bank BCA cash milik koko untuk mensuplai seluruh kebutuhan dana, sehingga memudahkan kita untuk control dana dan pengamanan dana. Tim sholat dzuhur dan makan di terminal Pulo Gadung. dengan hati masih penuh perencanaan dan pertanyaannya mungkinkah?? Kita menikmati    perjalanan ke linggarjati – Kuningan. Warung Pak Amat, base camp G. Ciremai masih sepi saat kami datang pukul 17.30. setelah packing dan persiapan kita mencoba untuk naik dan permisi kepada penjaga jalan. Sebelumnya sedari bawah kita telah diperingatkan bahwa G.Ciremai lagi ditutup karena masih dilakukan evakuasi korban. Setelah melalui debat dan ngotot tetap saja kita tidak boleh naik. Tim disarankan untuk melewati jalur palutungan dengan ketentuan membantu evakuasi korban. Hal ini tidak mungkin kita lakukan karena waktu kita yang terbatas. Saat itu juga tim melanjutkan perjalanan ke Cirebon dengan tujuan G.Slamet. kekecewaan karena tidak dapat naik Ciremai semakin besar karena kita terkatung-katung dijalan akibat susahnya kendaraan arah Purwokerto. Setelah sekian lama kita berleseh-leseh ria terminal Cirebon akhirnya dapat juga kendaraan ke Tegal. Di Tegal kita langsung transit ke Purwokerto.

27 Agustus 1995

Pukul 02.00 dini hari suasana terminal Purwokerto agak lengang, tetapi begitu kami datang calao-calo penumpang dan becak-man segera ramai-ramai berebut.  Seperti biasa mereka menawarkan carter dengan ongkos yang diluar perhitungan kami. Bus arah Bobotsari baru ada sekitar pukul 04.00 karena kita beristirahat, makan dan lesehan ngemper di trotoar took. Kita sempat naik bus turun lagi karena carge terlalu mahal. Dengan seenaknya didik ngajak turun yang lain sudah hamper tertidur di bus itu, dengan meminta uang bayaran kembali kepada kernet tentunya. Kita sempat perang mulut sebentar. Pukul 05.30 Tim sampai di Pratin, setelah shalat subuh kita lanjutkan ke desa Bambangan yang kami tempuh dengan jalan kaki. Setelah memperkenalkan diri kepada kepala desa dan pendaki yang ada di base camp, tim langsung packing dan berangkat mendaki pada pukul 07.00. Kita membekal nasi goreng masakan Bu Kades. Nafas serasa kian sesak karena terik matahari dan debu yang menggulung. Kita mesti menerobos pohon yang bergelimpangan menghalangi jalan. Kita sempat terkapar kelelahan dan tidur di seperminuman the sebelum batas vegetasi. Didik dan Wasis terkena kram kaki tapi gak parah banget.

Pukul 13.30 dengan sisa-sisa tenaga Tim berhasil mencapai puncak. Kawah Slamet yang anggun tak membuat kita betah di puncak. Hari itu terlalu panas dan kita terlalu ngantuk. Setelah foto-foto sekedarnya Tim langsung turun. Diperjalanan turun tim sempat boker, masak, makan, sholat dan tidur. Pukul 17.30 tanpa packing lagi tim langsung turun ke Pratin dengan harapan mengejar kendaraan terakhir ke Purwokerto. Kita juga menunda makan yang mestinya di rumah Pak Kades. Saat kita sampai di Pratin alangkah nelangsanya karena ternyata warung yang diharapkan  menyajikan nasi anget dengan ayam goring yang super gede ternyata telah habis semua. Kita tinggal bisa makan tempe buntel dan the manis anget. Bahkan telur asin pun tidak ada. Meski gak kenyang banget seenggaknya kelaparan sudah teratasi. Sialnya lagi kendaraan juga sudah habis. Kemudian kita disarankan penduduk untuk menunggu mobil box melati biasanya turun jam 20.00, tapi kita mesti nunggu di pertigaan kira-kira 1 km dari pratin. Dengan berat hati dan langkah yang tak tentu lalu kami teruskan jalan ke pertigaan ynag tersa bagai 1000 km.

Dengan bantuan mobil  box melati tersebut kami berharap sampai kepertigaan bobot sari, tapi karena lagi hoki kita dianter sampai di buka teja yang disitu kita dapat langsung ke Wonosobo- tujuan berikutnya. 21.30 kita sampai diterminal Wonosobo, dengan kaki yang masih kaku, bengkak, ngilu dan yang pasti BAU, kita tertatih-tatih mencari phone untuk calling Heni 499/SPA/’94 karena kita dah kangen banget. Kita sempat tidak dipercayai, namun dengan bukti kuat hitam di atas putih ala pengadilan rimba akhirnya kita bisa dijemput di terminal dan chek in dirumah Heni, rumah asri, sejuk, dan paling nyaman buat kita saat itu. Di rumah ini pula dengan fasilitas yang OK punya kita mendapat suplai tenaga ekstra.

28 Agustus 1995

Dengan berat hati meninggalkan kasur yang empuk pukul 10.30 kita di anter Heni ke terminal untuk ke tambi. G.Sindoro tujuan berikutnya. Kita naik bus jurusan dieng, kemudian menuju dusun sekatok. Setelah makan dan sholat kemudian menyembunyikan barang-barang yang ditinggal di base camp. Pukul 14.00 team mulai mengayunkan langkah mengejar puncak sindoro. Jalur pendakian yang bersih dan jelas memudahkan perjalanan kita. Sedari bawah puncak Sibdoro telah kelihatan. Pukul 16.30 dengan kondisi yang bugar kita sampai puncak Sindoro. Setelah foto-foto, makan dan istirahat sebentar kita langsung turun. Hari sudah mulai gelap saat kami turun. Kira-kira pukul 19.30 kita sampai dusun terakhir dan terus ke tambi. Meski masakan ala  kadarnya di warung itu tapi serasa nikmat sekali. Pisang gorengnya wow keren. Kemudian kita numpang sholat sekaligus nginap di sebuah mushollah di Tambi.

29 Agustus 1995

Hari masih pagi saat kita tinggalkan tambi menuju Garong untuk mendaki G. Sumbing. Pukul 10.00 setelah menyelesaiakan perijinan kita mulai mendaki. Garong saat itu sedang musim panen tembakau seakan setiap desa tak luput dari bau harum tembakau. Gunung Sumbing mempunyai spesifik yang unik, medannya bersap-sap seperti tangga yang membentuk puncak-puncak bayangan. Kondisi ini sering membuat frustasi pendaki, selain karena jalur yang memamng ngetrek licin dan banyak yang berbatu. Setelah pos I kami sempat salah jalur para pencari kayu. Kami harus  bersusah payah menerabas semak belukar beberapa saat untuk menemukan jalur normal kembali. Di perjalanan kami sempat bertemu anak-anak Bandung yang udah kenalan pas di G.Slamet. mereka lagi turun saat kami naik, sehabis dari selamet mereka langsung ke Sumbing ini. pukul 14.00 kita berhasil sampai Puncak. Pemandangan serasa biasa-biasa saja ditambah kabut yang menyelimuti kawah membuat kita tambah malas foto-foto. Hanya beberapa cepretan foto kemudian kita lebih seneng buat merebahkan tubuh dan tertidur. Entah yang kami impikan masing-masing yang pasti fanta strawberry merah yang barusan kami minum terasa segar sekali. Kami terlelap sejenak di bebatuan puncak G. Sumbing.

Pukul 15.00 kita terbangun dan segera melarikan diri turun. Beberapa team yang lain kita lewati termasuk anak-anak Bandung yang tadinya ketemu waktu kita naik. Adzan maghrib menggema saat kita sampai di base camp, kemudian setelah mengambil barang dan pamit kita jalan sambil nunggu kendaraan jalan raya. Dasar sial tak satupun dari sekian kendaraan yang mau nolong kita sampai dijalan raya. Sampai dijalan raya kita langsung makan di warung pojok. Gila oei… makan ternikmat, terbanyak, terkenyang dan yang termurah selama ini. team terus melanjutkan perjalanan ke parakan dan sempat phone ke jakartauntuk laporan ke Heni lagi, tapi sayang tidak nyambung. Perjalanan menurut rencana semula mestinya ke selo untuk naik merbabu, namun karena kondisi yang lagi down maka team memutuskan untuk istirahat di Solo sekalian naik G.Lawu dulu.

Hari sudah terlalu malam sehingga bus yang langsung ke Solo tidak ada, karena itu kita naik bus jurusan semarang dan transit di Bawen. Kita sampai di terminal Bawen pukul 22.00, yang saat itu ada panggung hiburan memperingati kemerdekaan. Music keroncong dan dangdut menemani kami yang lagi lesehan menunggu bus. Kami sempat berjumpa Andrean salah seorang teman akrab Yudi 371/SPA/’93 yang menemani kami ngobrol sampai kami dapat bus sekitar pukul 00.30

30 Agustus 1995

Pukul 02.20 dini hari kita telah sampai di terminal Solo. Sambil menunggu subuh tim istirahat, bersih-bersih badan dan sholat subuh. Kemudian tim berangkat ke rumah tutik 369/SPA/’93 pukul 05.00 yang sampai tujuan pukul 05.30. setelah membangunkan tuan rumah segera fasilitas dan segala macam makanan kami nikmati. Keramahan keluarga tutik membuat  semangat kami semakin menyala. Di solo kami menambah suplai dana dan logistic. Pukul 13.00 team berangkat dari tasikmadu menuju cemoro kandang. Perjalanan yang lambat dan sesak membuat kita semua semakin penasaran buat segera naik Lawu. Pukul 15.30 setelah persiapan seperlunya tim segera melangkah mendaki G.Lawu lewat jalur Jawa Tengah. Perjalanan mendaki Lawu ini team tampil dengan seluruh semangat dan dengan berlarian, bercanda dan sedikit kesombongan. Di antara pos I dan II team menikmati Sunset, keindahan yang tiada tara kita nikmati samba berfoto-foto ria. Pukul 18.45 dengan bangga team mencapai puncak. Setelah berpose sekedarnya segera saja team melarikan diri turun.

Sepanjang perjalanan inilah team diuji karena kesombongannya. Kita berlarian berusaha secepatnya sampai bawah dengan memotong-motong jalur. Sampai suatu saat Didik salah jalur. Sebelum pos dua menurut Didik (pas pos II menurut Wasis dan Koko) dalam kondisi di punggungan yang berbeda kita sempat komunikasi baik dengan teriakan maupun kode lampu senter dan sepakat ketemu dibawah. Jalur yang dilewati Didik sangat curam dan banyak terdapat akar-akar gantung. Setelah sekain lama turun sampai akhirnya jalur yang dilewati Didik mentok, yang membuat Didik seyakin-yakinnya kalau kalau kesasar.

Didik sempat menemukan tanda yang bertuliskan “Arah jalur yang Benar” dengan arah panah kea rah atas/datang, meliha itu sempat panic juga karena malam hari dan baterai senter yang hampir mati, setelah memperhitungkan posisi jalur sesat dengan jalur normal dan punggungannya Didik berusaha memotong jalur. Baru beberapa saat didik telah menemukan jalur normal dan segera berlari sekencang-kencangnya mengejar gemerlap sebuah senter di depan. Didik telah berteriak memanggil tapi tidak dijawab bahkan semakin lama semakin jauh. Setelah mengejar sedikit lama akhirnya kesampaian dan ternyata dia adalah Wahyu Purwanto (ipung). Saat ditanya “mana teman-teman?” ipung hanya menjawab “tidak tahu” yang membuat Didik menjadi tambah kalut. Beberapa saat kemudian Didik dan ipung sampai pos II dan mendapati team lain tidur disitu. Didik berusaha mengejar Wasis namun sampai Pos I tidak bertemu. Didik menunggu Ipung di Pos I dengan tiduran di bale bambu di Pos I. ketika ada suara berisik di pohon atas Didik hanya memperhatikan saja, sampai beberapa saat kemudian suara yang mirip lolongan serigala dan seserak harimau menggema keras sekali serasa di depan mata. Didik langsung bangkit dan akan menyusul Ipung ke atas, tetapi beberapa saat kemudian senter Ipung dah kelihatan. Sementara suara it uterus berulang-ulang Didik dan Ipung langsung turun tapi ngga berlari karena kaki Ipung yang sakit. Ipung bialng dia hanya pasrah andaikan harus mampus di terkam harimau karena memang benar-benar tidak mampu lari lagi. Didik dan Ipung sempat bertemu 2 tim lain yang salah satunya juga anak STAN-PRODIP, kita peringatkan buat hati-hati dan kalu bisa mending istirahat dulu dan dilanjutkan esok pagi.

Wasis dan Koko telah sampai duluan di Base Camp dan sempat panik karena Didik belum sampai yang tadinya di depan. Mereka sempat berpikir untuk nge-SAR Didik besok pagi. Pukul 21.30 Didik dan Ipung sampai Base Camp, belum sempat bercerita banyak wasis Koko udah panik dan segera mengajak turun padahal warung di bawah sudah tutp dan tidak ada kendaraan. Memang sebenarnya sejak kita masuk jalur Lawu masing-masing team sudah merasakan perasaan aneh. Bahkan di jalan Didik sering kali mendikte Wasis (leader) untuk memilih jalur pas naik. Hali ini biasanya jarang sekali dilakukan Didik. Selain itu kita sebenranya sepakat untuk tidak motong-motong jalur sedari bawah, tetapi ternyata kita lakukan lain. Kita nekat turun dan melangkah melintasi jalan aspal. Kita sempat menyetop kendaraan yang ternyata sedan pribadi, tentu saja tidak bersedia.

Sampai akhirnya kita sampai di dusun pertama dibawah, dan bertemu warung yang masih menyala lampunya meski sudah tutp. Didik mengetok pintunya dan ternyata nasinya masih lauknya habis tapi kami menerima ditawarin pake telur dadar. Sambil bercerita kita makan dan ngopi. Kita minta ijin untuk numpang di warung itu, tapi pemilik justru menawarkan rumahnya yang tidak jauh dari situ. Baru saja kita keluar dari warung ada mobil yang lewat. Didik langsung saja melambaikan tangan minta numpang. Dan Alhamdulillah mereka mau. mobil itu merupakan pick up warna coklat dengan dua penumpang. Kita langsung masuk, menutup pintu dan tiduran, meski dalam hati masih bertanya mobil beneran apa enggak? Sebenarnya tujuan kita hanya pingin sampai tawang mangu, tapi ternyata kita di anter sampai solo. Karena nggak ngerti daerah Solo kita bingung mesti turun dimana. Kita sempat nanya-nanya dan ternyata telah lewat. Untung si sopir yang ternyata orang bojonegoro dengan tersenyum mengantarkan kita balik lagi. Sampai dipertigaan sebelah pabrik gula kita diturunkan dasar orang baik dan lagi hoki waktu Didik mengulurkan uang bensin sopir itu tidak bersedia menerimanya.

Alhamdulillah pendakian G. Lawu (Gunung ke IV) yang sebenarnya diluar rencana, jadi pendakian kita yang paling bersemangat, sombong, dan sekaligus titik balok hancurnya mental kita. Banayk pelajaran yang kita peroleh selama mendaki Lawu, seenggaknya kita tak berani lagi menargetkan waktu selama pendakian berikutnya. Kita hanya menjalani, entah bisa menikmati atau menyesalinya.

31 Agustus 1995

Pukul 01.00 Dini hari kita sampai di rumah tutik kembali. Karena perasaan yang masih kalut kita enggan untuk membangunkan keluarga tutik. Kita trlelap dengan pikiran dan mimpi masing-masing. Sampai pagi datang dan keluarga tutik terbangun. Sgera the hangat dan sarapan yang menghangatkan perut kami. Kita bersih-bersih dan sholat subuh. Pagi itu juga setelah istirahat dan makan pagi kita cabut dari rumah tutik yang dianter oleh tutik dan nanik-adiknya tutik sampai jalan raya.

Pukul 11.00 kita sampai selo dan segera saja makan siang nggak kepalang tanggung makannya, kita semua pada nambah plus dengans egala snack dan drink. Setelah mendaftar dipolsek kita segera naik ke base Camp. Seharian ini kita hanya bersantai dan tiduran. Kita rencanakan naik untuk mengejar sunrise, jadi maksimal kita berangkat jam 01.00 dini hari.

1 September 1995

Pukul 01.00 Didik dan Wasis bangun. Kita sempat malas buat naik karena dingin. Akhirnya hanya Didik dan Wasis yang jadi naik setelah beberapa saat persiapan dan pamitan ma anak-anak. Perjalanan malam nggak banyak yang dapat diceritakan, katakanlah lebih asyik untuk dirasakan. Jalan kita semakin lama semakin cepat dan bersemangat. Bekas-bekas trouble di Lawu sedikit demi sedikit sirna, sementara Ipung dan Koko masih nyenyak dengan mimpinya. Pukul 04.30 kita sampai dipuncak merbabu setelah melewati dua team yang berangkat duluan semalem. Kita sholat subuh, masak kopi-susu dan memanaskan rending, makan dan istirahat sambil menunggu sunrise. Pukul 05.30 sunrise baru kelihatan, benar-benar pemandangan yang asyik dan OK punya. G. Merapi di pagi itu serasa angkuh menantang. SWEAR andai hari itu tidak hari jum’at kami pasti nekat naik mesti sedang ditutup. Setelah menikmati pemandangan sepuasnya kita segera turun. Langkah kaki yang semakin cepat mesti kaki bengkak dan jadi jempol semua.

Pukul 07.30 kita sampai basecamp sementara Ipung dan Koko masih ngiler. Langsung saja kita sepak biar bangun. Kita packing sebentar dan segera turun ke selo buat makan pagi dan meneruskan perjalanan ke Malang. Sampai di terminal solo pukul 10.30. karena waktu yang dah nanggung kita putuskan untuk menunggu sholat jum’at di terminal solo. Setelah selesai sholat jum’at team segera bertolak ke Malang dengan transit terlebih dulu di jombang. Jabrik tujuan kita untuk mendapatkan bantuan fasilitas dan nasihat. Kita sampai di kost Jabrik 263/SPA/’90 dan kancil 339/SPA/’92 kita makan pagi dan packing. Jabrik menyarankan untuk melintasi jalur potong dari Welirang ke Arjuno yang konon masih belum jelas bener engan menunjukkan segala cirri dan rah yang bener tentu saja dilengkapi fot-foto yang ada. 11.30 kita berangkat dari sawojajar ke malang kota buat nambah suplai dana, logistic dan obat-obatan. Kita lanjutkan rute ke Pandaan kemudian Tretes-Kakek Bodo.

Pukul 15.30 team mulai pendakian ke Gunung Welirang. Kondisi jalur yang berbatu membuat kita jenuh dan enggan melangkah. Semua anggota team belum pernah naik Arjuno-Welirang sehingga kita cukup hati-hati dalam menentukan pilihan jalur mengingat Arjuno terkenal dengan Tali Jiwa nya, lagian kita tidak mau mengulang pengalaman di Lawu. Setelah melewati jalan yang sangat membosankan malam itu pukul 22.00 kita sampai di pondokan Welirang. Ternyata pondokan yang biasanya buat istirahatpara pencari belerang ini berupa gubuk-gubuk drai ijuk yang di tumpuk rapat membentuk seperti tenda segi empat yang gede. Kita langsung masak dan tidur nyenyak sampek pagi. Pukul 06.30 ke puncak Welirang dalam waktu 2,5 jam. Setelah berpose bahagia kita melanjutkan perjalanan ke G. Arjuno dengan melewati jalur pintas Welirang-Arjuno. Setelah menerobos hutan edelweiss beberapa saat kita ketemu jalur yang agak baikan. Kita ikuti terus jalur tersebut sampai memutari bukit pertama. Kemudian ada jalur yang sangat jelas yanga memotong di depan kita. Team memutuskan untuk menaiki G.kembar I karena menurut perkiraan puncak gunung ini bersambungan punggungan dengan G. Arjuno setelah sampai puncak ternyata yang didepan adalah jurang, tapi pemandangan arah kanan bawah sangat nyaman dan jalurnya agak landai. Kita putuskan untuk melewati lembah asyik itu. Diposisi ini team sudah tidak menemukan jalur yang benar. Kita hanya berprinsisp untuk memutari gunung kembar II kita akan sampai di punggungan Arjuno. Sampai dilembah pemandangan begitu asyik, udara sejuk dan angin semilir membuat kita pingin santai dulu di situ. Dilembah ini juga terdapat buah arbei, yang lagi matang. Kita makan sebanyak-banyaknya untuk mengisi perut dan menghilangkan kehausan.

Kita terus jalan memutari G. Kembar II. Medan di posisi ini benar-benar blank. Medan yang kita lewati berupa semak belukar, padang rumput yang berbatu besar-besar dengan banyak celah. Sampai posisi ini kita masih saja tenang dan bahagia karena suasananya yang nyaman bahkan kita tidak berfikir bahwa kita sedang kesasar. Ada banyak sekali kotoran-kotoran menjangan yang masih baru. Di G. kembar I kita sempat menemukan kulit menjangan beserta pelor senapan caliber besar.

Kita mulai panic waktu hari semakin sore, persediaan air yang sangat minim, yang tinggal 1 botol aqua besar untuk 4 orang. Sementara kondisi mental yang udah pada down. Team hampir memutuskan untuk meninggalkan barang, tetapi karena masih yakin kita bawa terus. Saat itu team sepakat untuk mengakhiri semuanya di Arjuno, karena terlalu jenuh. Pukul 15.00 an team berhasil menemukan kembali jalur normal yang udah dekat sekali dengan puncak. Pukul 15.30 dengan sisa-sisa tenaga terakhir kita berhasil mencapai puncak arjuno. Karena udah jenuh kita malas buat turun dan mendaki puncak arjuno satunya. Kita istirahat, foto-foto ria dan makan snack seadanya, sementara itu kita juga bingung mesti turun lewat jalur yang mana, karena kita datang dari jalur nerobos. Setelah agak hilang rasa letih dan mental kembali ke posisi mendekati normal kita berusaha mencari jalur turun sampai kita menemukan jalur yang enak dan tidak berbatu. Kita berharap jalur ini akan membawa kita ke pondokan welirang karena kita sudah minim air. Kenyataan yang terjadi setelah berjam-jam kita jalan kita tidak menemukan pondok welirang, tapi kita yakin seenggaknya jalur ini membawa kita turun dan berharap ketemu desa untuk makan.

Kira-kira 2jam jalan kita sudah melihat gemerlap kedap-kedip lampu, tapi jaunhya tidak ketulungan. Sialnya ternyata kita mesti melewati padang ilalang, hutan tropis dan perkebunan the yang kering kerontang. Tenggorokan sudah terasa terbakar. Pukul 22.00 kita bahagia banget dapat ketemu perkampungan pegawai perkebunan teh. Ternyata kita sampai dilawang. Didik langsung saja nyelonong minta air ke rumah yang dijumpai pertama setelah yang lain tidak bersedia. Kita minum sepuasnya di situ dan memesan mie rebus. Ah sama saja kalo kita yang masak. Persediaan indomie kita masih full. Karena gak ada warung aja kita terima tawaran indomie rebus dan kita mesti bayar mahal buat transport ke lawang. Setelah selesai makan di terminal arjosari kita naik taksi ke sawojajar. Arloji cap jangkrik kami telah menunjukkan pukul 23.30. dan kami segera tidur mengakhiri perjalanan kami, perjuangan kami dan petualangan kami.